Intervensi Negatif Negara?
Opini Kompas 16 Mei 2006 dengan tajuk Gerak Bandul Intervensi Negara mengatakan bahwa roh negara adalah regulator. Hal itu diimplementasikan dalam intervensi negara yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Intervensi dikatakan negatif bila negara mengeluarkan berbagai regulasi yang membatasi hak-hak sipil dan politik warganya, sehingga dapat menghasilkan konstruksi berpikir bahwa negara merupakan pemegang otoritas dan wibawa moral. Intervensi dikatakan positif bila negara bersedia menjalankan kewajibannya untuk menyediakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak bagi warganya.
Dalam prakteknya ada tiga pola :
1) pola pengurangan intervensi negatif, tetapi tidak peduli, bahkan menghilangkan intervensi positif negara. Dicontohkan pada negara2 liberal dengan terciptanya kaum2 borjuis dan kapitalis.
2) pola penguatan intervensi positif negara sekaligus penguatan intervensi negatifnya. Dicontohkan pada negara2 komunis.
3) pola pengurangan intervensi positif dan penguatan intervensi negatif. Pola semacam ini muncul dalam kecenderungan amat kuat pada sistem politik yang otoriter.
Pada kesimpulan, Opini merefleksikan pada kejadian seputar kontroversi RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) dan rencana revisi UU Ketenagakerjaan. RUU APP dipandang sebagai menguatnya intervensi negatif negara karena mengurangi kebebasan individual dari warga. Sementara revisi UU Ketenagakerjaan dipandang sebagai melemahnya intervensi positif negara karena tidak memberi rasa aman ekonomi kepada buruh.
Saya sependapat dengan revisi UU Ketenagakerjaan sebagai pengurangan intervensi positif. Buruh, sebagai pihak yang lebih lemah dibanding pengusaha, memang harus mendapatkan jaminan. Dan penjamin itu adalah negara. Negara menjamin agar batas minimum upah terjaga dalam kondisi layak, uang pesangon tetap diberikan dan perlindungan buruh dari outsourcing.
Namun, RUU APP sebagai penguatan intervensi negatif negara agaknya kurang tepat. Memang kebebasan warga sebagai individu lebih dibatasi dengan penerapan RUU ini. Memang negara mulai memasuki wilayah moral yang selama ini dianggap menjadi domain individu. Dan itu semua, menurut saya bukan tanpa sebab. Kebebasan individu dalam negara Indonesia jelas bukan kebebasan tanpa batas. Dalam salah satu butir2 sila Pancasila, dikatakan bahwa kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan yang dibatasi oleh hak-hak individu lainnya. RUU APP muncul karena maraknya kebebasan individu yang berlebihan yang berujung pada pelanggaran hak asasi individu lainnya. Sebagai contoh; penerbit-penerbit majalah atau pun tabloid dengan foto2 syur bebas bertebaran di pinggir2 jalan. Ini jelas mempersempit kebebasan orang tua dalam mengajak putra-putrinya berjalan-jalan santai. Pikiran para orangtua dipenuhi pertanyaan : bagaimana bila anak2 saya melihat gambar2 syur itu? apa yang harus saya jelaskan??
Contoh lainnya : penyanyi maupun pemain film secara berlebihan menampilkan guyonan, "goyangan" ataupun adegan2 "17 tahun ke atas" dengan leluasa di televisi; bahkan kini jam tayang bukan hanya tengah malam, namun juga petang. Sudah banyak reportase media menceritakan bagaiman perbuatan pelanggaran hak asasi individu lainnya (misal : perkosaan, pelecehan seksual, dll) bermula dari tontonan-tontonan seperti itu.
Bila menggunakan variabel "kebebasan individu" sebagai ukuran intervensi negatif, maka pendapat tentang RUU APP bisa berbeda-beda. Menurut penerbit2 majalah syur, penyanyi maupun pemain film, mungkin itu adalah pengekangan kebebasan individu. Tapi menurut korban perkosaan, orang-orang tua bisa jadi RUU APP adalah alat untuk memfasilitasi agar mereka dapat menikmati kebebasan dari perkosaan, kebebasan berjalan-jalan santai dan kebebasan memindahkan remote TV ke channel apa pun.
Pertanyaannya adalah : kebebasan individu mana yang dijadikan parameter? Dalam opini saya, yang harus dilindungi adalah kebebasan individu yang tidak mengurangi kebebasan individu lainnya. Saya pikir penerbit2 dapat beralih ke media lain tanpa harus mengalami kerugian berarti. Penyanyi mau pun pemain film dapat menyanyikan lagu2 lain tanpa "goyangan2" (bukankah yang dinikmati dari nyanyian adalah olah vokal?) dan memilih tema2 film lain yang lebih baik tapa harus mengalami kerugian signifikan. Namun, bagaimana jika kebebasan penerbit, penyanyi dan pemain film tadi dipaksakan? Apakah wanita dan anak2 yang menjadi korban perkosaan dapat menghidari dampak negatifnya?? Apakah ayah-ibu dapat bebas berjalan-jalan di trotoar tanpa harus memikirkan foto2 pada tabloid pinggir jalan yang dilihat oleh buah hatinya?
Wallahu'alambishawwab
Labels: Pemikiran