pasopati

Monday, June 11, 2007

Calon Independen : Kenapa Tidak?

Tergelitik. Itulah yang pertama saya rasakan ketika mengikuti debat perlu tidaknya calon independen di Pilkada DKI 2007 ini. Lebih geli lagi mendengar sejumlah alasan yang mengharamkan calon independen dari arena pilkada di republik ini. Setidaknya ada dua alasan mengapa debat ini saya prediksi hanya akan menguras energi dengan sedikit hasil :

1. Debat ini amat sangat bertujuan jangka pendek, alias kuat motif politik praktisnya.
Betapa tidak, wacana calon independen semakin menguat begitu ada bakal calon gubernur yang terlempar dari kendaraan partai politiknya. Walau pun memang beberapa bulan sebelum pendaftaran cagub DKI wacana ini berkembang, namun intensitasnya jauh lebih kuat di akhir-akhir masa pendaftaran.

2. Dalam alam demokrasi, yang diklaim sebagai situasi yang paling kondusif di Indonesia, seingat saya kata "kebebasan" dan "kesetaraan" adalah simbol yang harus dijunjung.
Lantas, bila minat para warga ibukota menjadi calon pemimpin wilayahnya dibatasi dan dikebiri dengan alasan penggembosan partai politik, maka sungguh naif semua pihak yang katanya mengusung demokrasi ini.

Khusus untuk alasan nomor 2, berikut adalah uraiannya.

Sabtu, 6 Juni 2007, sebuah opini "Politika" Kompas yang gemar saya ikuti, menurunkan sebuah tulisan bertajuk "Sinau" Lagilah. Artikel tersebut menolak keberadaan calon independen. Alasannya, mekanisme calon independen akan memuluskan langkah seorang konglomerat yang banyak uang untuk mencalonkan diri dengan tujuan mengamankan bisnisnya. Sang konglomerat sudah pasti tidak mengerti tata krama politik, cara berorganisasi dan malas menyapa rakyat bawah. Asal ada uang, atau "gizi" seperti diungkapkan almarhum Nurcholish Majid, kursi nomor satu di ibukota bisa direbut.

Sebuah prediksi yang bisa jadi benar. Namun, sekali lagi, bukankah itu yang jamak terjadi di republik ini. Secara tidak langsung, cukong-cukong dengan kerajaan bisnis yang luas, bahkan kebanyakan haram, menjalin hubungan mesra dengan penguasa. Tengok saja beberapa konglomerat hitam yang hingga sekarang susah dibekuk walau sudah melarikan trilyunan rupiah uang negara. Intinya, bukan hanya lewat "calon independen" skenario seperti itu bisa terwujud. Kita selalu dikejutkan oleh dampak yang bisa ditimbulkan oleh uang. Dan dengan sistem pilkada berbasis parpol pun, hal tersebut dapat dipastikan memiliki peluang terjadi yang cukup besar juga. Karena apa? Ongkos politik di republik ini sangat mahal. Itulah yang menyebabkan seorang calon gubernur membutuhkan dukungan dana dari kanan dan kiri, bahkan depan belakang. Persinggungan cagub dengan pihak pengusaha atau pun konglomerat adalah sebuah keniscayaan, karena mereka adalah pemilik modal.

Yang diperlukan demokrasi di Indonesia adalah kedewasaan partai politik. Kedewasaan bisa diraih dengan jatuh, kemudian bangun lagi, secara baik dan benar. Oleh sebab itu, calon independen adalah alat yang sesuai untuk memperlihatkan secara jelas kelemahan-kelemahan partai politik. Ketidak percayaan masyarakat terhadap parpol adalah sebuah fenomena yang harus dihadapi bukan dengan kekerasan. Kekerasan lewat peraturan-peraturan yang menutup peluang saluran-saluran non-parpol. Wacana "calon independen" adalah tantangan terhadap parpol yang harus dihadapi secara alamiah. Parpol harus memperbaiki kinerjanya dalam "menyambung lidah konstituen"; parpol harus memperbaiki kaderisasinya, agar bukan kader2 karbitan bermodal uang saja yang mampu menembus kursi calon gubernur ataupun bupati ataupun walikota; parpol harus mengadakan konsensus untuk menekan biaya politik yang sangat tidak wajar mahalnya; dan masih banyak lagi PR lainnya. Itulah manfaat berkompetisi dengan "calon independen" yang kemungkinan akan menggaet suara dari rakyat yang apatis terhadap parpol.

Untuk alasan nomor 1, sudah cukuplah kita berlelah-lelah mencermati headline setiap surat kabar yang seringkali hanya meliput momen-momen heboh akibat manuver-manuver politik jangka pendek para pejabat publik dan politisi.

Debat tentang calon independen harus dikeluarkan dari kubangan keruh motif-motif politik praktis. "Calon independen" hanyalah satu dari ratusan alat untuk membuktikan sebuah hipotesis : "Demokrasi adalah solusi untuk Indonesia". Kerangka perdebatannya pun mau tidak mau harus diletakkan dalam upaya mencari solusi jangka panjang permasalahan di negeri ini. Agar apa? Agar energi tidak terkuras dalam letupan-letupan kecil semacam pilkada ini. Pembahasan ini harus kontinu, berkesinambungan, dikaitkan dengan perangkat-perangkat demokrasi lainnya dan terstruktur. Pertanyaannya adalah, mampukah kita? Harus mampu! Untuk melewati "masa transisi", sebagaimana disebut Eep Saefulloh Fatah dalam bukunya "Mencintai Indonesia dengan Amal", menuju demokrasi yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, wacana "calon independen" ada baiknya tidak disikapi dengan penuh kecurigaan bahkan ditolak terlebih dahulu sebelum ditelaah. Bukan katakan "tidak" atau "perjuangkan" calon independen, tetapi cukuplah katakan, "Calon Independen : Kenapa Tidak?"

Wallahu'alam

Labels:

Tuesday, June 05, 2007

Keluh, Enyahlah !

Berpendapat tanpa berharap,
Berbicara tanpa bermaksud,
Memahami sambil mengoreksi,
Berjalan sambil menyapa

Berdebat tanpa hati,
Mencaci sambil mengingat,
Menerima, dengan penuh kemawasan,
Memuji sambil memarahi

Berlari sambil memperhatikan,
Mendorong dengan penuh kesabaran,
Bercerita tanpa maksud mengungkap,
Belajar sambil mengusir rasa puas

Memohon tanpa menggurui,
Membimbing tanpa mendominasi,
Bergerak tanpa ketergesaan,
Bergembira dengan setulus hati, demikian pula tangisnya

Kalau sudah demikian,
Bisa lah kita mulai sebuah episode cinta
Ummatan wasathon...

Labels: