pasopati

Friday, February 01, 2008

Berkeliling Kota Dengan Bus di Utrecht

Melakukan perjalanan dengan bus pertama kali di Belanda, khususnya di Utrecht, boleh jadi membingungkan. Bukan karena jadwal ataupun jurusan busnya, melainkan karena sistem zonasi wilayah di tiap kota di Belanda. Di sini saya akan mencoba berbagi pengalaman kepada para pengunjung blog ini. Mudah-mudahan bermanfaat =)

Berbeda dengan yang saya biasa lakukan di Indonesia: menunggu bus yang sewaktu-waktu bisa lewat di depan kantor, meloncat naik sebelum si supir tancap gas, dan bagian terpenting adalah.... membiasakan turun dari bus dengan kaki kiri dulu. Kalau masih maksa kaki kanan, maka besar kemungkinan Anda akan "kesrimpet" (duh, ga nemu bahasa indonesianya, maap yah =p....), terhuyung2 atau bahkan terkilir. Karena percayalah, bus tidak akan menunggu anda selesai menjejakkan kedua kaki Anda. Di Belanda, jadwal kedatangan setiap bus ditempel di terminal masing-masing. Biasanya, tenggat waktunya antara 10 hingga maksimal 30 menit. Khusus bus luar kota, biasanya tenggat waktunya jauh lebih lama. Bila Anda berangkat dari terminal bus, maka setiap bus memiliki halte masing-masing. Di Utrecht, terminal bus pusat (Centraal Station) merupakan terminal bagi trem dan kereta api juga. Sekaligus tempat mangkal taksi-taksi. Khusus terminal bus, ada dua peron: peron A dan peron B. Peron ini adalah trotoar berbentuk elips memanjang; satu sisi adalah peron A dan sisi lain adalah peron B.



















Bila kita perhatikan gambar petanya, maka dapat kita lihat bahwa jalur-jalur perhentian busnya memanjang sepanjang trotoar. Ini berbeda dengan terminal Blok M Jakarta, di mana bus-bus dikelompokkan ke dalam 4 hingga 5 jalur perhentian.

Hal penting yang harus diperhatikan berikutnya adalah daerah tujuan. Di setiap terminal dan halte bus, selain jadwal kedatangan bus, juga dipampang peta berisi pembagian zona wilayah di Utrecht. Buat apa ya zona ini? Ini digunakan untuk menentukan tarif bus. Tarif bus ditentukan berdasarkan jumlah zona yang dilewati bus dari terminal asal ke terminal tujuan. Jadi berbeda dengan di Jakarta: jauh deket 2000 rupiah (atau malah kadang2 kalau deket banget kasih abangnya seribu terus ciao deh hehe). Setelah naik di atas bus, penumpang wajib membeli strippenkaart atau tiket bus yang berisi strip2 yang akan distempel sang supir berdasarkan perhitungan zona yang kita lalui. Misalnya kita mau melakukan perjalanan antar terminal dalam zona yang sama, maka kita harus membeli strippenkaart 2 strip. Bila melakukan perjalanan antar terminal ke zona tetangga, maka kita harus membeli strippenkaart 3 strip. Bila bus menempuh perjalanan sebanyak tiga zona, termasuk zona terminal asal, maka kita harus membeli strippenkaart 4 strip, demikian seterusnya. Rumusnya = z+1 (di mana z adalah zona, halah kaya matematika aja....). Harga per strip kurang lebih 0,8 euro (atau sekitar 11.000 rupiah dengan kurs sekarang.. waduh mahal benerrr). Sebagai informasi, dari terminal bus pusat ke kampus saya bus harus menempu dua zona, berarti bayar berapa strip ya?? Yak betul.. tiga strip =)

Alternatif pembayaran selain membeli strippenkaart di atas bus adalah: membeli strippenkaart di kios, karcis bulanan atau karcis spesial diskon. Membeli strippenkaart terlebih dulu di kios memiliki keuntungan, yaitu lebih murah ketimbang bayar di bus. Strippenkaart yang dijual di kios ini ada dua tipe: 20 strip dan 45 strip. Untuk 20 strip harganya 6,9 euro dan 45 strip harganya 20,4 euro. Bila satu strip = satu zona, silahkan Anda hitung sendiri... Lebih murah bukan?? =p



Contoh Strippenkaart



Yang unik dari strippenkaart ini adalah, sistem stempelnya masih manual oleh sang supir, dan belum menggunakan perangkat elektronik. Tak, tok, tak , tok mirip2 di kantor pos kalau kita mau ngirim surat gitu hehe. O ya, bila Anda melakukan perjalanan 2-3 zona, maka selama 1 jam anda bisa berpindah2 bus sesuka Anda ke zona manapun selama bus itu hanya menempuh 2-3 zona. Untuk perjalanan 4-6 zona, batas berlakunya strippenkaart adalah 2 jam, dan demikian seterusnya semakin lama tenggat waktunya bila zona yang dijalani lebih banyak.

Opsi lain pembayaran adalah membeli tiket bulanan. Ini biasanya dilakukan oleh mahasiswa ketika musim dingin yang kurang kondusif untuk bersepeda. Haganya untuk perjalanan dalam zona yang sama sekitar 30 euro, sementara untuk dua zona bisa mencapai 60 euro. Namun, bila sudah membeli tiket bulanan ini, maka harus sering menggunakannya supaya tidak rugi. Alternatif lain adalah karcis spesial diskon. Karcis ini ada di hari-hari tertentu saja.

Satu tips lainnya, tepatilah jadwal bus bila Anda tidak ingin terlambat. Sebab, bila bus sudah datang dan sedang mengangkut penumpang yang ada di halte, sementara Anda masih berlari-lari dari jarak ratusan meter, percayalah, amat jarang supir menunggu penumpang seperti Anda. Prinsipnya: telat, ambil bus berikutnya. Dan hal ini sering terjadi pada saya. Tentunya tidak enak bukan melihat ekor bus yang seharusnya Anda tumpangi melintas begitu saja di depan Anda, sementara Anda harus termangu menunggu bus berikutnya yang mungkin masih belasan menit lamanya. Inilah mengapa saya kadang2 masih suka kangen dengan metromini atau kopaja jakarta; "Bang, bang bentar Bang!" pasti si abang kondektur bilang ke supirnya: "Kiri, kiri, kiri, masih ada lagi neh". O ya, satu lagi... di sini tidak ada kondektur. Supir betul-betul single fighter.





Ya demikian kiranya pengalaman singkat saya berkenalan dengan salah satu bagian dari sistem transportasi di Belanda, khususnya Utrecht. Semoga bermanfaat! Kalau masih engga paham juga, gampang.... Ambil peta Utrecht, sepeda, dan jangan lupa lampunya! Dijamin lebih simpel dan gratisssss =)












Catatan:
Gambar peta terminal diambil dari:
http://www.lazymarie.nl/A-VBZ/10-vertrektijden/busstation.html


Gambar bus: koleksi foto pribadi (duh mohon maap, yang difoto bus rusak lagi =p)

Labels: ,

Monday, June 11, 2007

Calon Independen : Kenapa Tidak?

Tergelitik. Itulah yang pertama saya rasakan ketika mengikuti debat perlu tidaknya calon independen di Pilkada DKI 2007 ini. Lebih geli lagi mendengar sejumlah alasan yang mengharamkan calon independen dari arena pilkada di republik ini. Setidaknya ada dua alasan mengapa debat ini saya prediksi hanya akan menguras energi dengan sedikit hasil :

1. Debat ini amat sangat bertujuan jangka pendek, alias kuat motif politik praktisnya.
Betapa tidak, wacana calon independen semakin menguat begitu ada bakal calon gubernur yang terlempar dari kendaraan partai politiknya. Walau pun memang beberapa bulan sebelum pendaftaran cagub DKI wacana ini berkembang, namun intensitasnya jauh lebih kuat di akhir-akhir masa pendaftaran.

2. Dalam alam demokrasi, yang diklaim sebagai situasi yang paling kondusif di Indonesia, seingat saya kata "kebebasan" dan "kesetaraan" adalah simbol yang harus dijunjung.
Lantas, bila minat para warga ibukota menjadi calon pemimpin wilayahnya dibatasi dan dikebiri dengan alasan penggembosan partai politik, maka sungguh naif semua pihak yang katanya mengusung demokrasi ini.

Khusus untuk alasan nomor 2, berikut adalah uraiannya.

Sabtu, 6 Juni 2007, sebuah opini "Politika" Kompas yang gemar saya ikuti, menurunkan sebuah tulisan bertajuk "Sinau" Lagilah. Artikel tersebut menolak keberadaan calon independen. Alasannya, mekanisme calon independen akan memuluskan langkah seorang konglomerat yang banyak uang untuk mencalonkan diri dengan tujuan mengamankan bisnisnya. Sang konglomerat sudah pasti tidak mengerti tata krama politik, cara berorganisasi dan malas menyapa rakyat bawah. Asal ada uang, atau "gizi" seperti diungkapkan almarhum Nurcholish Majid, kursi nomor satu di ibukota bisa direbut.

Sebuah prediksi yang bisa jadi benar. Namun, sekali lagi, bukankah itu yang jamak terjadi di republik ini. Secara tidak langsung, cukong-cukong dengan kerajaan bisnis yang luas, bahkan kebanyakan haram, menjalin hubungan mesra dengan penguasa. Tengok saja beberapa konglomerat hitam yang hingga sekarang susah dibekuk walau sudah melarikan trilyunan rupiah uang negara. Intinya, bukan hanya lewat "calon independen" skenario seperti itu bisa terwujud. Kita selalu dikejutkan oleh dampak yang bisa ditimbulkan oleh uang. Dan dengan sistem pilkada berbasis parpol pun, hal tersebut dapat dipastikan memiliki peluang terjadi yang cukup besar juga. Karena apa? Ongkos politik di republik ini sangat mahal. Itulah yang menyebabkan seorang calon gubernur membutuhkan dukungan dana dari kanan dan kiri, bahkan depan belakang. Persinggungan cagub dengan pihak pengusaha atau pun konglomerat adalah sebuah keniscayaan, karena mereka adalah pemilik modal.

Yang diperlukan demokrasi di Indonesia adalah kedewasaan partai politik. Kedewasaan bisa diraih dengan jatuh, kemudian bangun lagi, secara baik dan benar. Oleh sebab itu, calon independen adalah alat yang sesuai untuk memperlihatkan secara jelas kelemahan-kelemahan partai politik. Ketidak percayaan masyarakat terhadap parpol adalah sebuah fenomena yang harus dihadapi bukan dengan kekerasan. Kekerasan lewat peraturan-peraturan yang menutup peluang saluran-saluran non-parpol. Wacana "calon independen" adalah tantangan terhadap parpol yang harus dihadapi secara alamiah. Parpol harus memperbaiki kinerjanya dalam "menyambung lidah konstituen"; parpol harus memperbaiki kaderisasinya, agar bukan kader2 karbitan bermodal uang saja yang mampu menembus kursi calon gubernur ataupun bupati ataupun walikota; parpol harus mengadakan konsensus untuk menekan biaya politik yang sangat tidak wajar mahalnya; dan masih banyak lagi PR lainnya. Itulah manfaat berkompetisi dengan "calon independen" yang kemungkinan akan menggaet suara dari rakyat yang apatis terhadap parpol.

Untuk alasan nomor 1, sudah cukuplah kita berlelah-lelah mencermati headline setiap surat kabar yang seringkali hanya meliput momen-momen heboh akibat manuver-manuver politik jangka pendek para pejabat publik dan politisi.

Debat tentang calon independen harus dikeluarkan dari kubangan keruh motif-motif politik praktis. "Calon independen" hanyalah satu dari ratusan alat untuk membuktikan sebuah hipotesis : "Demokrasi adalah solusi untuk Indonesia". Kerangka perdebatannya pun mau tidak mau harus diletakkan dalam upaya mencari solusi jangka panjang permasalahan di negeri ini. Agar apa? Agar energi tidak terkuras dalam letupan-letupan kecil semacam pilkada ini. Pembahasan ini harus kontinu, berkesinambungan, dikaitkan dengan perangkat-perangkat demokrasi lainnya dan terstruktur. Pertanyaannya adalah, mampukah kita? Harus mampu! Untuk melewati "masa transisi", sebagaimana disebut Eep Saefulloh Fatah dalam bukunya "Mencintai Indonesia dengan Amal", menuju demokrasi yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, wacana "calon independen" ada baiknya tidak disikapi dengan penuh kecurigaan bahkan ditolak terlebih dahulu sebelum ditelaah. Bukan katakan "tidak" atau "perjuangkan" calon independen, tetapi cukuplah katakan, "Calon Independen : Kenapa Tidak?"

Wallahu'alam

Labels:

Thursday, April 12, 2007

Jakarta, Berbenahlah...

"First, men shape buildings. And then the buildings shape us.." [Winston Churchill]

Berapa kali perjalanan rumah-kantor, atau rumah-kampus yang telah kita lalui? Begitu rutinnya, maka akan ada saatnya kita bahkan tidak perlu berpikir untuk menuju rumah,kantor atau kampus. Cukup hanya ikuti jalur biasa dan pikiran kita bisa melanglang buana ke hal-hal di luar perjalanan itu. Atau, coba amati perilaku orang di sebuah gedung bertingkat dengan fasilitas lift. Karena begitu biasanya seseorang naik-turun menggunakan lift, hingga terkadang hanya untuk berpindah satu lantai saja, otomatis ia langsung menekan tombol lift; padahal kalau mau sedikit berhitung, lewat tangga akan jauh lebih cepat.

Ungkapan Churchill di atas relatif terkenal di kalangan arsitektur dan urban designer. Bangunan yang kita desain untuk kemudahan, lambat-laun akan mempengaruhi perilaku kita; manusia yang menempatinya. Dalam skala yang lebih luas, maka kota atau wilayah dapat dijadikan contoh. Kembali kali ini kasus Jakarta akan diangkat.

Beberapa ahli perkotaan berpendapat, Jakarta tidak didesain dengan mengakomodasi transportasi massal. Ruas jalan raya yang besar-besar dan tanpa adanya batasan yang jelas mana jalan untuk mobil pribadi dan mana untuk mobil umum telah menyebabkan usaha untuk mendesain transportasi massal seperti tambal-sulam. Contoh ini dapat dilihat dari jalan raya yang memanjang antara Kota - Blok M; yang merupakan batang tubuh utama desain Kota Jakarta. Jalan raya ini menghubungkan wilayah kota lama [Kota, Harmoni, dll] dengan wilayah kota yang lebih baru [Blok M, Sudirman, dll]. Walhasil, mengubah kebiasaan berkendaraan pribadi amat sulit. Tidak heran bahwa beberapa survey terakhir yang dilakukan menunjukkan tidak adanya perpindahan signifikan dari pengguna mobil pribadi ke pengguna Trans Jakarta.

Struktur permukiman juga menggambarkan adanya kesulitan melihat masalah secara utuh. Konsekuensi sebuah kota menjadi besar adalah dia akan menarik minat penduduk di luar wilayahnya. Gejala ini populer disebut urbanisasi; simpelnya : perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi sebenarnya juga memiliki arti lain, yaitu meluasnya pengaruh wilayah kota hingga "mengakuisisi" daerah-daerah di sekitarnya. Ini dapat dilihat dari tingginya tingkat commuting penduduk Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi ke Jakarta. Dus, terbentuklah wilayah Jabodetabek [+jur]. Penduduk commuting ini memang menimbulkan masalah bagi arus kendaraan harian di jalan-jalan di Jakarta, namun tidak menimbulkan masalah bagi struktur perumahan di Jakarta. Yang kerap dianggap menjadi masalah adalah kedatangan warga luar ibukota untuk menetap; yang biasanya menetap di permukiman-permukiman kumuh dan tak berizin. Masalah ini menjadi lebih rumit ketika perumahan itu digusur. Warga luar ibukota dengan ekonomi pas-pasan perlu tempat "singgah sejenak" sebelum bergerak ke strata ekonomi yang lebih tinggi. Permukiman "informal" menyediakan solusi bagi mereka. Solusi lanjutan yang harus dilakukan pemda adalah memberikan akses kepada lapangan pekerjaan. Menggusur tempat tinggal mereka, bisa saja menghancurkan proses yang telah mereka lalui untuk menyejahterakan diri mereka; proses perpindahan ke strata ekonomi dan sosial yang lebih tinggi. Tindakan gusur dan gebuk hanya akan menyelesaikan masalah kekumuhan, namun masalah sosial di balik itu akan tetap ada. Lambat-laun struktur perumahan yang dipaksakan ini akan meminggirkan kaum miskin dan membuat kota terasing dari warganya sendiri.

Pembenahan masalah perumahan harus terlebih dahulu menganut paradigma bahwa perumahan informal adalah sebuah solusi, dan bukan masalah. Solusi bagi backlog (1) ketersediaan rumah yang seharusnya dipenuhi pemerintah. Dengan demikian, energi yang ada tidak usah dihamburkan untuk menggerakkan ratusan Tramtib, melainkan bisa digunakan untuk kegiatan semisal : penyediaan akses ke kredit keuangan mikro, penyediaan infrastruktur dasar permukiman dan pemugaran perumahan yang kumuh.

Terakhir tentang kepenatan. Ungkapan : "Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri" menggambarkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Berhitung jumlah ruang publik dan ruang terbuka hijau, sungguh sangat sedikit. Tekanan hidup yang sangat tinggi yang dialami warganya sehari-hari, kerap mencerminkan Jakarta sebagai kota yang angkuh, keras dan tidak bermoral. Kepenatan tersebut dapat digambarkan demikian : Bagaimana tidak marah, ketika berada dalam antrian terdepan TransJakarta lantas diserobot tiba2 dari belakang? Bagaimana tidak kesal ketika seringkali menemui kemacetan panjang di jalanan? Bagaimana tidak dongkol ketika dari setiap trotoar yang kita lalui, hanya asap tebal yang kita peroleh?
Terlalu dini mungkin bila mengambil kesimpulan bahwa ada korelasi erat antara "suasana hati" dengan objek yang dilihat dan diamati. Namun, banyak orang merasakan demikian. Trotoar yang rapih dan tidak dilalui sepeda motor minimal membuat jalan kaki akan menjadi lebih nyaman. Pepohonan rindang dan saringan knalpot kendaraan bermotor akan membuat nafas lebih segar dan sejuk. Antrian yang rapih dan taman kota yang cantik dapat mengurangi beban stress selepas bekerja. Ah, sungguh Jakarta memang harus berbenah.

Wallahu'alam

Labels:

Friday, March 16, 2007

Potret Transportasi Publik di Ibukota [1]


Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) menyatakan akan melakukan aksi mogok nasional bila pemerintah tidak juga bisa memberantas aksi pungutan liar (pungli) dan suap yang selama ini sudah menjadi beban para anggotanya [sumber : website Menko Kesra]

Sebenarnya berita ini saya dengar di penghujung Maghrib di radio Elshinta, hanya karena tidak menemukan versi online-nya, maka saya cuplik dari website Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. Aneh beritanya bukan? Tidak juga, malahan saya berpendapat ini adalah cara terbaik untuk menyelesaikan segudang masalah transportasi publik di ibukota, khususnya di darat. Frustrasi? Mungkin iya, tapi siapa yang tidak frustrasi menggunakan transportasi publik di Jakarta? Sebagai pengguna setia, jujur saya sudah di ambang batas kritis, dan menuju ke arah kondisi cuek.

Baik, mari kita urut permasalahan yang ada. Pertama di sektor angkutan bus umum. Setiap hari pulang-pergi kantor ada hal unik yang saya amati. Di setiap putaran atau di setiap perhentian banyak terdapat oknum-oknum, yang terkadang menggunakan baju dinas salah satu instansi pemerintah pusat, meminta uang kepada kenek bus. Dapat dipastikan bahwa itu adalah pungutan tidak resmi. Kenapa? Terkadang saya amati adanya paksaan dan bentakan kepada kenek bus dari oknum tersebut. Belum lagi adanya beking dari aparat-aparat berwenang. Di beberapa tempat, modus permintaan uang tidak resmi itu masih bisa ditolerir. Caranya, si oknum bersangkutan menjual jasa kepada supir bus. Jasa mencatat jarak waktu antar bus dengan trayek sama, atau kita sebut sebagai timer. Timer ini bermanfaat untuk menjaga kerenggangan jarak antar bus dengan trayek sama atau beririsan, supaya masing-masing mendapat jatah penumpang yang optimal; dan supaya tidak ada kejadian dua bus dengan nomor trayek sama persis berjalan berbaris, dijamin bus yang paling belakang akan rugi karena penumpang diambil semua oleh bus yang depan.

Masalah yang lainnya adalah mekanisme ”setoran” yang ditetapkan kepada setiap bus. Mekanisme ini menetapkan batas minimal uang yang harus disetorkan setiap hari oleh supir bus bersangkutan. Jumlah setoran sangat tinggi; berdasarkan hasil wawancara singkat dengan penumpang bus yang cukup paham, diketahui setoran sehari bisa mencapai angka sejuta rupiah. Walhasil supir bus akan pontang-panting mengejar setoran, tanpa mengindahkan rambu-rambu yang berlaku. Dan seringkali walaupun dengan membayar tarif normal 2.000 rupiah, Anda tetap tidak bisa mendapatkan ”kenyamanan” di dalam sebuah bus kota, terutama jam-jam sibuk kantor. Bukan hanya itu saja, buat Anda yang belum terbiasa naik bus kota, siap-siaplah untuk terkilir setelah meloncat turun dari bus. Ada tekniknya supaya tidak terkilir; karena bus masih melaju setengah kencang waktu menurunkan penumpang. Ini semua akibat setoran yang teramat tinggi, belum lagi biaya-biaya pungli dan biaya ”siluman” lainnya seperti saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Menurut Ketua DPP Organda, Murphy Hutagalung, pungli dan suap saja sudah mencapai 30% dari total pengeluaran mereka, atau sekitar Rp 18 triliun, dan itu belum termasuk biaya ”siluman” akibat preman di lapangan.

Masalah di sektor bus umum sebenarnya cukup banyak di samping masalah setoran. Ada masalah bus yang sudah tidak layak pakai; dengan asapnya yang mengepul tebal berwarna hitam. Ada pula masalah keselamatan, dimana sang kenek dengan leluasa bergelantungan dengan separuh badan keluar kendaraan. Demikian pula dengan masalah pemahaman supir bus terhadap rambu-rambu lalu-lintas. Namun, permasalahan mendasar ada pada setoran, karena ini yang menyangkut kesejahteraan supir dan keneknya. Dengan perhatian lebih terhadap kesejahteraan sopir dan kenek, niscaya pelayanan angkutan umum bus akan dapat ditingkatkan.

Mengambil konsep bus ”TransJakarta”, maka sebaiknya konsep ”setoran” ditiadakan dan diganti dengan gaji tetap. Dengan tiadanya batas minimal setoran, maka keinginan sopir bus untuk mengambil penumpang sebanyak-banyaknya akan hilang. Sopir akan berkonsentrasi terhadap keselamatan penumpang dan memperhatikan rambu-rambu lalu-lintas; atau setidaknya hanya berhenti pada halte yang tersedia. Tentu saja dalam menerapkan sistem penggajian perlu dipertimbangkan kelayakan ekonomi operator-operator bus. Di sini subsidi pemerintah dibutuhkan dalam beberapa hal. Di samping itu, operator bus harus berlomba-lomba meningkatkan efisiensinya agar dapat menerapkan sistem penggajian yang layak. Masalah berikutnya dari sistem penggajian ini adalah perilaku sang supir. Dengan gaji cenderung tetap, dan mungkin di beberapa operator tanpa bonus, maka orang akan cenderung berkurang produktivitasnya. Berbeda dengan konsep ”setoran”, dimana uang yang lebih dari standar minimum setoran akan masuk kantong supir dan kenek. Sistem penggajian harus dibuat dengan cukup menarik dan tentu saja ada insentif untuk supir-supir dengan kinerja baik. Tidak mudah memang, dan alternatif hitung-hitungan ekonominya mungkin akan lebih banyak menempatkan operator dalam posisi merugi. Oleh sebab itu, peran subsidi pemerintah pada tahun-tahun awal penerapan sistem penggajian amat penting.

Masalah setoran ini hanyalah satu dari sekian banyak masalah di sektor angkutan bus umum. Namun, hanya dengan diawali dari sini perbaikan menyeluruh sistem angkutan bus umum bisa dilakukan.

Wallahu'alambishshawab

Labels:

Wednesday, September 06, 2006

Pilkada(l) dan Polusi Billboard

Awalnya biasa saja... Saya pikir memang sudah sewajarnya sebagai Wakil Gubernur, foto beliau terpampang dalam beberapa pengumuman di Billboard jalanan ibukota. Mulai dari gerakan anti narkoba, ucapan 17 Agustus-an hingga jenis-jenis pesan lain. Sama seperti saya melihat Billboard bergambar Bpk. Sutiyoso tentang wajib pajak.

Lantas muncul kabar bahwa yang bersangkutan punya kans untuk mencalonkan (atau dicalonkan) menjadi gubernur selanjutnya. Sampai sini masih biasa saja... Hingga pagi ini terbetik pertanyaan usil dari benak saya : "Kalau memang beliau mau menjadi gubernur selanjutnya, tentu butuh kampanye bukan? Dan bukankah Billboard adalah media kampanye juga? Dan kenapa saya baru kepikiran sekarang untuk menanyakan sebuah hal penting : duit buat bikin Billboard dari mana????"

Kecil kemungkinan Billboard2 yang terpasang dananya berasal dari kocek pribadi. Bukan bermaksud su'udzan, tapi menurut saya ini serius. Bila pada akhirnya yang bersangkutan maju menjadi calon gubernur, maka KPUD selayaknya merunut momen-momen pemasangan Billboard. Ini setidaknya bisa diklasifikasikan ke dalam dua jenis pelanggaran : curi-curi start dan penyalahgunaan fasilitas negara. Sekali lagi, kalau terbukti kecurigaan saya ini benarrr... Belum tentu juga kan tapinya? Hanya prasangka yang saya ingin ungkapkan di sini.

Yah sekian tentang prasangka... Semoga ada manfaatnya saya tuliskan di sini (maklum belum mampu bikin uraian yang bisa menembus surat kabar).

Berbicara Billboard, saya jadi teringat kota Bandung, 4 tahun (lebih sih...) berkuliah menimba ilmu di sana, saya melihat kesamaan corak dengan Jakarta. Apa gerangan? Adanya perampasan hak pengguna jalan untuk melihat indahnya horison di sore hari. Lho kok bisa? Ya itu, Billboard segede gaban dipasang di sepanjang Jalan Dago, tentang rokok pula! Dan saya yakin, ukuran huruf PERINGATAN PEMERINTAH TENTANG BAHAYA MEROKOK pasti lebih dari 250 pt skala Microsoft Word. Belum puas juga, silahkan tengok jembatan penyeberangan.. Habis sudah oleh beragam iklan-iklan yang sejatinya bisa diringkas dalam sebuah ungkapan pendek : "JADILAH KONSUMTIF!! DEMI KAMI!" Di Jakarta, Kuningan, Sudirman, dan jalan-jalan besar lainnya senantiasa menghalangi panorama matahari terbenam dengan Billboard2-nya yang menjulang. Ini bisa dikategorikan ke dalam polusi juga; setidaknya polusi pemandangan.

Dalam perspektif Pemda, adalah kewajaran menjamurnya Billboard. Hal ini bisa meningkatkan PAD berkali-kali lipat. Asumsi saya seperti itu, sebab biaya izin pemasangan publikasi spanduk dan baligho saja sudah cukup mahal (untuk ukuran mahasiswa), nah apalagi Billboard2 raksasa seperti itu. Dan biasanya setiap lokasi Billboard punya pelanggannya masing-masing; semisal kartu kredit Anz di bunderan sudirman, Marlboro di beberapa jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya. Tapi coba kita beralih ke perspektif lain, yaitu masalah tata kota. Menurut Marco Kusumawijaya, kota adalah bentuk ultimat dari permukiman. Oleh sebab itu, semua prasyarat permukiman harus tersedia secara baik di kota. Perkembangan perencanaan kota juga mempunya titik sejarah di mana kota dianggap sebagai sebuah taman besar yang asri (Garden City, Ebenezer Howard) bagi penduduknya. Walau pun pandangan ini terbukti naif sejalan dengan perkembangan zaman, namun setidaknya ada hal penting yang bisa diambil : bahwa kota bukan melulu tentang pusat perdagangan dan jasa. Kota juga seharusnya memiliki fungsi permukiman dan fungsi relaksasi, baik alami maupun buatan. Buatan bisa kita temui dengan menjamurnya mall-mall dan pusat rekreasi lainnya. Tapi alami? Bukankah puluhan bahkan ratusan pohon sudah ditebang demi busway dan monorail? Coba hitung berapa persen taman kota di Jakarta? Sudahkah memenuhi standar 20% ruang terbuka hijau untuk wilayah perkotaan? Dan kini, hak untuk melihat langit biru atau terbenamnya matahari di sore hari pun sudah menjadi amat langka di kawasan pusat kota.

Sudah selayaknya fungsi-fungsi kota dikembangkan secara proporsional. Kalau tidak juga, saya jadi kepikiran bisnis baru : paket rekreasi ke wilayah sejuk dan alami bagi warga kota yang penat dengan kehidupan kotanya. Ini berarti fungsi relaksasi kota hilang, dan harus dipenuhi di luar kota. Ada yang berminat dengan bisnis ini? =D

Wallahu'alam

Labels:

Friday, May 05, 2006

Jalan Kendal, Antroposentrisme dan John Perkins

Seperti biasa pagi ini menyusuri jalan Kendal di belakang stasiun Sudirman selepas dari KRL ekspres. Perjalanan ke tempat kerja biasanya ditempuh 15-20 menit dengan berjalan kaki; jalan santai tentunya…
Ada yang biasa tapi ternyata sekarang mengusik pikiran saya. Kandang-kandang bertumpuk berisikan anjing-anjing kecil (kalau bahasa manusia mungkin batita = bawah tiga tahun). Biasa saja... Tiap pagi juga begitu; anjing2 campuran diperjualbelikan, terutama yang masih kecil-kecil.
Hari ini agak berbeda, kandang paling atas berisi kucing kecil; kucing biasa bukan turunan atau campuran. Hanya saja warnanya cukup bagus, oranye... Lucu juga mukanya..
Barangkali perasaan-perasaan seperti itu yang diharapkan muncul dari pejalan kaki oleh para penjual binatang itu. Perasaan gemas, lucu, dan iba.. Sehingga timbul keinginan membeli. Ya; itu sah-sah saja.. Tidak ada yang salah dalam proses itu. Pembeli, penjual, barang dagangan, terjadi kesepakatan dan DONE! Transaksi terjadi
Tapi coba dilihat dari sisi lain, hewan-hewan kecil yang diperjualbelikan itu dipisah dari induknya pada saat yang amat dini. Ditambah di kandang itu ternyata makanan yang tersedia amat minim (sejauh pengamatan saya).
Antroposentrisme.. Sebuah ideologi yang meyakini bahwa manusia adalah pusat dari segala aktivitas di alam semesta. Semua selain manusia sah-sah diapakan saja asal dapat memenuhi kebutuhan manusia. Segala sesuatunya ada karena bertujuan mendukung kehidupan manusia. Jadilah eksploitasi besar-besaran terhadap alam semesta demi kebutuhan manusia... Bisa dianalogikan dengan kisah jalan Kendal tadi
Andaikata cerita John Perkins benar dalam buku best-seller pengakuan dosanya, maka seluruh sistem pendidikan diarahkan untuk membentuk individu yang hanya memikirkan kepentingan spesiesnya, yaitu manusia. Itu pun hanya segelintir manusia.. Antroposentrisme di atas antroposentrisme....
Kesalahan bukan hanya di tangan para penjual binatang jalan Kendal tadi. Kesalahan juga terletak pada individu2 yang membuat sistem yang mengabaikan kepentingan di luar segelintir manusia. Sistem yang secara masif mengeksploitasi segala sesuatu di luar pembuat sistem demi kepentingan si pembuat sistem dan golongannya.. Bahkan, kesalahan mungkin juga terletak pada mereka yang mendiamkan hal tersebut terjadi di depan mata mereka
--Karena sesungguhnya segala yang berlebihan itu tidaklah baik

Wallahu’alambishawwab
(19 April 2006)

Labels:

Wednesday, May 03, 2006

Hakikatnya



”Transportasi adalah proses memindahkan orang dari satu titik ke titik lain....”
Prof.Dr.Kusbiantoro (begawan transportasi di planologi ITB)
---------------------------------------------------------------------

”Duh macet benerrr...!”
”Di Jakarte mah tua di jalan yang ada...”
”Naik kereta aja biar cepet! Tapi ati-ati copet...”
Obrolan yang kerap terdengar di ibukota tercinta

Ya! Menengok kembali arti kata transportasi adalah langkah bijak yang harus diambil kota-kota besar Indonesia, di mana kemacetan sudah menjadi ”sarapan” dan ”makan sore menjelang malam”.
Bila menilik dari wejangan Profesor Kus, maka seharusnya orientasi kebijakan di Indonesia adalah pada perbaikan sektor transportasi publik. Sudah lewat zaman di mana jargon Satu Keluarga Satu Mobil yang didengung-dengungkan Ford. Transportasi publik adalah jawaban kongkrit atas permasalahan kemacetan. Transportasi intinya mindahin orang; bukan mindahin mobil.. Gitu aja kok repot!

Namun sayangnya, transportasi publik tidak digarap optimal oleh mayoritas pemerintah kota. Revolusi transportasi yang dilakukan Bang Yos (akhir2 ini kayanya gubernur ini yang jadi favorit saya) belum bisa dikatakan komprehensif. Kebijakan hanya diarahkan pada proyek-proyek mercusuar (TransJakarta, Monorail, Subway).
Sekilas melihat transpotasi pendukungnya : feeder busway (nama keren bus-bus mikrolet, patas, kopaja dan trans-trans kota baru), kereta rel listrik, bajaj, dkk sepertinya masih belum terjamah. Walhasil trayek yang sering diputar-putar, kecelakaan kereta api dan kondisi yang kurang nyaman menjadi permasalahan juga.

Pada akhirnya saya tetap berusaha memelihara prinsip husnudzan; semoga langkah2 mercusuar tadi dapat memberikan dampak turunan bagi sarana-sarana pendukungnya. Dan semoga Jakarta dapat menjadi model kota dengan pelayanan transportasi publik yang baik.

Wallahu’alambishawwab
(6 April 2006)

Labels: