Dicari : Teladan!
Dalam sebuah ruang kelas pada medio tahun 1999, saya terhenyak mendengar salah seorang guru saya berkata :"Bangsa Indonesia adalah (maaf) monyet terbesar yang ada di dunia..." Ungkapan itu berkaitan dengan kebiasaan sebagian warga Indonesia untuk selalu meniru bulat-bulat kebudayaan maupun kebiasaan tanpa telaah kritis terhadap dampak positif maupun negatif kebiasaan/kebudayaan tersebut.
Saya setengah sepakat dan tidak sepakat dengan ungkapan tersebut. Sepakat bukan dalam ungkapan atau bahasa yang digunakan. Namun sepakat dengan realitas yang terjadi di lapangan. Memang banyak kebiasaan yang langsung kita tiru tanpa terlebih dulu meninjau baik-buruknya kebiasaan itu. Tidak sepakat karena kebiasaan meniru bukan hanya milik bangsa Indonesia. Kebiasaan meniru adalah tabiat manusia semenjak ia dilahirkan. Ocehan bayi, celoteh anak kecil dan sikap remaja adalah buah dari peniruan lingkungan yang ada di sekitarnya.
Baiklah, saya sepakat dengan prosedur peniruan (asimilasi) yang terlebih dahulu menggunakan analisis dampak baik-buruk. Hanya saja, prasyarat untuk melakukan proses asimilasi tersebut cukup berat dalam pandangan saya. Tingkat kematangan dan pendidikan warga harus berada pada taraf yang cukup baik. Dan di negeri ini?? Hmm.. saya agak pesimis menimbang permintaan anggaran pendidikan 20% baruuu saja diluluskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses uji materiil.
Lantas? Sambil proses menuju tercapainya prasyarat, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah memperbanyak pribadi-pribadi yang mampu memberikan bentuk bagus/baik untuk ditiru masyarakat. Teladan-teladan perlu dimunculkan untuk mengakomodasi kebutuhan peniruan dari warga masyarakat. Kebutuhan akan adanya sosok yang dapat memberikan pedoman baik-buruk tanpa perlu diberi cap beragam prasangka. Dan sosok ini membutuhkan konsistensi yang sangat... Sosok ini membutuhkan jaringan yang luas untuk mengakomodir pendapatnya di berbagai elemen masyarakat. Dan tentu saja sosok ini harus mampu meminimalisir celah bagi prasangka-prasangka buruk yang amat mudah berkembang dalam masyarakat.
Hmm, sepertinya banyak sosok seperti itu.. Yang dibutuhkan adalah panggung media yang dapat menginformasikannya secara jujur dan berimbang. Agar kelak sosok tersebut menjadi pelita-pelita kecil yang dapat menuntun mayoritas warga menyongsong fajar harapan di negeri ini.
Wallahu'alambishawwab
Saya setengah sepakat dan tidak sepakat dengan ungkapan tersebut. Sepakat bukan dalam ungkapan atau bahasa yang digunakan. Namun sepakat dengan realitas yang terjadi di lapangan. Memang banyak kebiasaan yang langsung kita tiru tanpa terlebih dulu meninjau baik-buruknya kebiasaan itu. Tidak sepakat karena kebiasaan meniru bukan hanya milik bangsa Indonesia. Kebiasaan meniru adalah tabiat manusia semenjak ia dilahirkan. Ocehan bayi, celoteh anak kecil dan sikap remaja adalah buah dari peniruan lingkungan yang ada di sekitarnya.
Baiklah, saya sepakat dengan prosedur peniruan (asimilasi) yang terlebih dahulu menggunakan analisis dampak baik-buruk. Hanya saja, prasyarat untuk melakukan proses asimilasi tersebut cukup berat dalam pandangan saya. Tingkat kematangan dan pendidikan warga harus berada pada taraf yang cukup baik. Dan di negeri ini?? Hmm.. saya agak pesimis menimbang permintaan anggaran pendidikan 20% baruuu saja diluluskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses uji materiil.
Lantas? Sambil proses menuju tercapainya prasyarat, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah memperbanyak pribadi-pribadi yang mampu memberikan bentuk bagus/baik untuk ditiru masyarakat. Teladan-teladan perlu dimunculkan untuk mengakomodasi kebutuhan peniruan dari warga masyarakat. Kebutuhan akan adanya sosok yang dapat memberikan pedoman baik-buruk tanpa perlu diberi cap beragam prasangka. Dan sosok ini membutuhkan konsistensi yang sangat... Sosok ini membutuhkan jaringan yang luas untuk mengakomodir pendapatnya di berbagai elemen masyarakat. Dan tentu saja sosok ini harus mampu meminimalisir celah bagi prasangka-prasangka buruk yang amat mudah berkembang dalam masyarakat.
Hmm, sepertinya banyak sosok seperti itu.. Yang dibutuhkan adalah panggung media yang dapat menginformasikannya secara jujur dan berimbang. Agar kelak sosok tersebut menjadi pelita-pelita kecil yang dapat menuntun mayoritas warga menyongsong fajar harapan di negeri ini.
Wallahu'alambishawwab
Labels: Keseharian
0 Comments:
Post a Comment
<< Home