pasopati

Friday, November 10, 2006

Dialog Imajiner Antar Pahlawan

Alkisah sebuah lorong waktu antar dimensi terbuka pada suatu hari. Terbukanya lorong waktu itu memungkinkan terjadinya sebuah dialog antara Mohammad Toha (syuhada Bandung Lautan Api), seorang TKI (tenaga kerja Indonesia), dan seorang guru (katakanlah namanya Oemar Bakrie) . Berikut petikannya :


Oemar Bakrie : Lho, bukankah Anda adalah Mohammad Toha yang terkenal sebagai pahlawan Bandung Lautan Api itu??

Mohammad Toha : Oh ya? Sejak kapan saya jadi pahlawan? Saya ini sedang bertugas mengamankan jengkal demi jengkal Kota Bandung dari serbuan kumpeni. Banyak orang juga melakukan hal yang sama, berjuang untuk kemerdekaan negaranya. Menjadi pahlawan? Tidak terbetik sekali pun dalam pikiran kami. Kemerdekaan adalah tujuan kami.

TKI : Lantas kenapa pula Anda sekarang ada di sini?

Mohammad Toha : Entahlah, saya seharusnya sudah sampai di gudang yang harus saya bakar. Tidak kuat... Tentara kami kalah jauh dari kumpeni-kumpeni itu. Tekad kami sudah bulat, iya atau tidak sama sekali. Kami tidak rela Bandung tercinta jatuh ke tangan penjajah. Semua fasilitas vital harus kami bumihanguskan. Eh, tiba-tiba saya seperti masuk dalam pusaran dan tiba di sini bersama kalian.

TKI : Wah Anda berada dalam misi sangat penting. Kelak, peristiwa itu yang menjadi kebanggaan warga Bandung dan masyarakat Indonesia.. Saya sendiri kebetulan asli Bandung.

Mohammad Toha : Eh, Anda berdua sebenarnya siapa?

Oemar Bakrie : Saya seorang guru SD. Sedang dalam perjalanan menuju sekolah sebelum kemudian saya melihat Anda tiba-tiba jatuh dari atas.

Mohammad Toha : Wah rupanya saya bertemu seorang guru... Dan satu pertanyaan lagi, saya sekarang berada di mana?

TKI : Anda berada di negara Indonesia tahun 2006, 51 tahun setelah proklamasi kemerdekaan.

Mohammad Toha : Wah, kebetulan... Entah kenapa saya bisa tiba di sini. Namun ini rasanya kesempatan baik untuk dapat sedikit tahu tentang masa depan perjuangan kami.

Oemar Bakrie : Tak banyak perubahan... Bangsa kita masih terjajah. Zaman Anda penjajah asing datang dengan artileri-artileri berat. Sekarang, penjajah asing datang dengan menggunakan kemeja dan dasi untuk menawarkan hutang berkepanjangan bagi negera kita. Musuh dalam negeri? Jangan tanya... Jauh lebih banyak. Mulai dari yang abstrak semisal kebodohan, kemiskinan dan kemalasan. Hingga warga negara-warga negara Indonesia yang punya hobi korupsi, membuat huru-hara dan menjual janji-janji palsu atas nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

TKI : He he.. Belum ditambah nasib saya Pak Toha.. Saya teh TKI, alias tenaga kerja yang suka diekspor ke luar negeri. Katanya sih, jadi pahlawan depisa*.. Eh, boro-boro diperhatiin sama pemerintah, ada juga kena tempeleng majikan yang warga negara asing tea.

Mohammad Toha : Ah yang bener?? Masa Indonesia ekspor pembantu ke luar negeri?? Ke mana pula sarjana-sarjananya?? Bukankah zaman kemerdekaan telah tiba dan para pemuda bisa bersekolah dengan aman?

Oemar Bakrie : Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ekspor pembantu. Toh mereka juga bisa menghasilkan uang untuk keluarganya di Indonesia. Yang salah adalah tidak adanya perhatian dan jaminan keamanan dari pemerintah kita. Sarjana-sarjana Indonesia? Oh ada banyak Bung Toha... Tapi yaa apa mau dikata, sebagian larut dalam budaya hedon yang berkembang. Puluhan channel TV dan acara-acara tidak bermutu telah membuat sebagian dari mereka menjadi keropos mentalnya. Tugas kami sebagai guru dengan jam mengajar kira-kira 8 jam bisa disapu bersih oleh sebuah sinetron dengan durasi 2 jam.

Mohammad Toha : Wah... Negara kita jadi pengekspor pembantu, eh TKI rupanya saat ini. Lantas bagaimana dengan Anda, Pak Guru?? Zaman kami guru sangat dihargai. Bahkan pejuang-pejuang 45 lahir dari rahim pendidikan yang dibidani guru-guru.

TKI : Ya eta guru-guru mah biasanya suka disebut pahlawan tanpa tanda jasa. He he, kayanya mah bener-bener tanpa tanda jasa...

Oemar Bakrie : Sama seperti Anda Bung Toha.. Tidak pernah terbetik dalam pikiran saya untuk jadi seorang pahlawan. Bagi kami, melihat murid tumbuh besar dan bermanfaat bagi bangsa ini adalah sebuah kebahagiaan tak ternilai. Walau sebagian kecil kolega kami ada juga yang punya perilaku menyimpang. Tapi secara umum, kebahagiaan kami adalah di saat kami mengajar.

TKI : Ah si bapak guru mah... Jadi gini Pak Toha.. Guru-guru teh engga beda jauh sama kita-kitalah, para TKI. Engga diperhatiin juga sama pemerintah. Kemarin waktu ada guru baca puisi, isinya teh menyuarakan aspirasi guru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, eh malah dimarahin sama Pak Wapres.. kumaha ieu teh?? Bukannya didengerin terus diperbaiki, eh malah dimarahin. Heran saya...

Mohammad Toha : Ck, ck, ck... Lantas bagaimana warga Indonesia memaknai kemerdekaannya?? Saya jadi bingung, 61 tahun itu pada ngapain aja sih??

Oemar Bakrie : Ya, memang pelik Bung Toha permasalahan bangsa ini.

Rupanya sedari tadi, seorang pemuda terus memperhatikan percakapan ketiganya dari jarak yang cukup dekat tanpa disadari ketiganya. Sang pemuda agak ragu untuk terlibat dalam pembicaraan "aneh" lintas waktu itu.

Mohammad Toha : Eh, kamu... Ayo kemari! Mari berbincang sejenak..

Pemuda : Eh, oh saya maksudnya Pak??

Mohammad Toha : Iya.. Siapa lagi.

Pemuda : Ya kenapa Pak? Mohon maaf sebelumnya daritadi saya cuma melihat bapak-bapak bertiga berbicara. Sebab saya sedang berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa Bapak adalah Mohammad Toha yang terkenal itu. Apa benar Pak?

Mohammad Toha : Ya betul. Tapi kalau masalah terkenal, saya kurang tahu juga.Perasaan saya biasa-biasa aja kok.. Eh, Anda mahasiswa?

Pemuda : Alhamdulillah sudah lulus pak...

Mohammad Toha : Lantas??

Pemuda : Sekarang sedang mencari kerja.

Mohammad Toha : Oh begitu.. Ya bagus, bekerja dan bangun bangsa ini. Supaya masalah-masalah yang diutarakan Pak Guru dan bapak TKI ini bisa teratasi.

Pemuda : Sebenarnya saya masih bingung Pak. Apa yang sebenarnya mau dibangun oleh bangsa ini. Sementara bapak-bapak telah menyandang predikat pahlawan, entah pahlawan kemerdekaan, pahlawan devisa atau pahlawan tanpa tanda jasa, saya justru masih bingung..

Oemar Bakrie : Bingung apa kamu Dik?

Pemuda : Semua permasalahan yang ada di bangsa kita ini menurut saya pada awalnya mudah dijelaskan. Namun kenapa para pemimpin kita suka sekali mempersulit masalah-masalah mudah? Misalnya, masalah korupsi, kan solusinya tinggal tangkap orang yang korupsi, hukum dengan berat dan buat aturan yang tegas. Namun yang saya lihat justru korupsi-korupsi kecil yang berusaha diatasi, korupsi besar didiamkan saja. Belum lagi ada koruptor yang mendapat remisi Pak.. Bayangkan berapa jumlah remisi yang diterimanya.. 3 tahun lebih pak!!!
Kemudian masalah kemiskinan dan perekonomian, solusinya gampang saja menurut saya pak. Mbok ya itu menteri-menteri duduk dan serius menggarap pengangguran yang semakin lama semakin bertambah. Nah ini, malah bagi2 uang 100.000 tiap bulan.. Ndak masuk akal kan Pak?? Kenapa ndak sekalian aja menteri2 yang banyak duitnya menghibahkan separuh kekayaannya untuk warga miskin? Kenapa harus sedikit-sedikit 100.000 rupiah saja?
Itu belum ditambah masalaha politik Pak... Mbok ya udah tahu negara lagi susah gitu, eh para anggota dewan dan eksekutifnya malah ribut soal Uka-Uka** itu lho Pak.. Ndak penting!! Sebenernya mereka niat engga sih mbetulin bangsa ini?? Saya malu pak, sama Presiden Venezuela (Hugo Chavez) dan Presiden Iran (Ahmadinedjad). Yang pertama rela memangkas gajinya sampai 50% dan mampu bertindak tegas sama penjajah2 asing yang meraup keuntungan di negerinya. Presiden Iran malah jadi ikon baru perjuangan anti imperialisme modern. Orangnya sederhana banget Pak... Mbok ya pemimpin2 kita niru ke mereka gitu lho Pak.

Mohammad Toha : Jadi sebenarnya kamu bingung sama masalah-masalah yang menimpa bangsa ini? Bagus itu nak, saya bangga generasi muda sepeti kamu sudah memikirkan hal-hal begitu.

Pemuda : Sebenernya saya cuma tahu dari koran Pak... Ini ada yang lebih bikin saya bingung lagi. Kalau bapak2 kan sudah tahu posisi dan peran bapak dalam mengatasi masalah bangsa ini. Itu dimulai dari pemahaman dan penghayatan terhadap masalah bangsa yang ada, kemudian bapak-bapak bertidnak sesuai perannya. Lha saya menghayati saja belum bisa pak!!

Oemar bakrie : Belum bisa apa tho Dik?

Pemuda : Saya ini dan kebanyakan warga negara Indonesia mungkin cuma tahu masalah dan belum menghayati. Buktinya saya masih gelagapan kalau ditanyakan sebuah pertanyaan

Mohammad Toha : Pertanyaan apa itu Nak?

Pemuda : Saya bingung kalau ditanya : "Masih bisakah kamu menangis untuk bangsa ini?"
Ndak bisa saya jawab itu Pak, orang kaya saya hanya bisa membaca masalah2 bangsa dari koran, tapi untuk menghayati saya belum bisa pak..

Mohammad Toha, Oemar Bakrie, TKI : (tertegun)



------------------------------------------------------------------


* pahlawan depisa (Sunda) = pahlawan devisa (Indonesia)
** Uka-uka = UKP3R


NB : Ditulis dalam rangka refleksi Hari Pahlawan 10 November 2006
Judul terilhami dari "Pilar-pilar Asasi, Ust. Rahmat Abdullah (alm.)"
Pertanyaan terakhir diambil dari salah satu episode dialog Sugeng Sarijadi Forum (SSF) di QTv

Labels:

Tuesday, November 07, 2006

Oleh-oleh Dari BBM

Seperti biasa, tidak on-line satu hari, maka window2 offline message menyerbu dengan ganas. Salah satunya seperti ini : "Nov-3Des 2006, 9-19, bursa buku murah dengan potongan harga mencapai 50%, bertempat di Gedung A Departemen Depdiknas, sebelah Ratu Plaza. Penerbit.... (lupa lagi, udah dihapus offline message-nya)." Jadilah saya menyimpan niat keesokan hari mau berburu buku-buku bagus dengan harga miring. Maklum, uang THR sama sekali belum terpakai karena lebaran yang sangat singkat dan padat untuk tahun ini dan tidak sempat berjalan-jalan ke mana pun selain rumah sepupu di Bandung.

Masuk kerja besoknya, ada sebuah pesan pendek masuk lagi : "Sibuk engga? Mau ikutan ke Borong Buku Murah (BBM) di wisma BNI?" Nah lho?? Gimana ini, kemarin katanya di sebelah Ratu Plaza, kok jadi di wisma BNI?? Usut punya usut ternyata offline message yang saya terima terpotong, seharusnya bunyinya : "24 Nov-3Des 2006, 9-19, bursa buku murah dengan potongan harga mencapai 50%, bertempat di Gedung A Departemen Depdiknas, sebelah Ratu Plaza. Penerbit...." Dan dari tanggal 6-8 November ada lagi kegiatan bursa buku , boleh dibilang gila-gilaan, dengan harga perbijinya Rp 2.500,- !!! Dengan semangat '45 saya pun merencanakan seusai rapat siang itu akan segera cabut ke wisma BNI. Apa daya, rapat pun memasuki masa over-time 2x30 menit (emang ada ya over-time sepanjang itu?) sehingga baru selesai pukul 3 kurang bertepatan dengan kumandang adzan ashar.

Yup! Keesokan harinya saya pun sudah mempersiapkan waktu untuk sekedar mampir ke wisma BNI. Dalam bayangan saya, nanti saya akan punya waktu cukup untuk memilih-milih dan membeli buku2 yang cukup menarik. Jam 10.00 teng saya tiba di lantai 2 Wisma BNI, di depan sebuah ruang terpampang tulisan "Borong Buku Murah (BBM)" dan di depan pintu masuk dipasang garis antrian yang berkelok-kelok cukup panjang. Kemarin teman saya sudah mengingatkan bahwa keadaan di sana sangat kacau, dan buku-buku yang tersisi ketika ia datang (pukul 12 siang ke atas) sudah bersisa komik-komik yang kurang menarik. Kalau masalah jam datang sudah saya siasati dengan datang lebih awal. Namun ternyata, saya salah perhitungan mengenai medan yang akan saya kunjungi. Alih-alih bisa memilih dengan tenang, ada juga kelompok-kelompok manusia sedang mengeroyok beberapa timbunan buku. Di sudut-sudut lainnya ada timbunan-timbunan buku yang dibiarkan tergeletak. Tadinya saya berniat menjelajah dari timbunan yang dibiarkan tergeletak, namun saya urungkan setelah saya lihat isinya hanya komik-komik lama. Ya sudah, langsung saya mengalihkan perhatian kepada kelompok orang yang berebutan buku dan bergabung di dalamnya. Dan di sinilah perhitungan saya meleset jauh. Buku yang pertama saya lihat dan tampak bagus langsung saya ambil dan kumpulkan. Padahal baca resensinya saja belum, jadilah saya hanyut dalam kegiatan "mengambil dengan penuh semangat tanpa pikir panjang" buku-buku yang tampaknya bagus.

Sudah selesai dengan satu timbunan buku, lantas saya berkeliling mencari timbunan lainnya. Beberapa buku saya sikat, termasuk buku terbitan Elex untuk anak-anak. Ah, bisa buat adik-adik di Bandung pikir saya. Kapan lagi 2.500?? Lagi asyik memilih buku anak-anak, terjadi kehebohan di belakang saya. Rupanya petugas jaga sedang mengeluarkan stok buku baru lainnya. Jadi sepertinya stok buku dikeluarkan dengan shift tertentu. Mungkin untuk menjamin buku bagus tidak habis secara cepat. Dengan semangat yang menggelora lagi, lantas saya pun memburu buku-buku baru itu. Jadi kondisinya mirip pasar senggol yang jualan barang-barang kebutuhan pokok, atau mirip juga dengan pembagian makanan berbuka gratis secara massal. Senggol sana-senggol sini, dan akhirnya saya urungkan juga berebutan, karena engga tega juga lihat ibu-ibu sama mbak-mbak terdorong sana-sini.

Dengan setumpuk buku di tangan, saya menuju kasir. Perkiraan saya ada sekitar 40-an buku di tangan saya. Ketika usai dihitung di kasir, mbak petugas meminta saya mengurangi satu buku yang telah saya ambil. Ternyata sistem yang diterapkan adalah pembelian harus kelipatan 4. Pikir saya, daripada mengurangi satu mendingan nambah 3 buku. Jadilah saya pilih beberapa komik-ensiklopedia terbitan Elex. Dan harganya luar biasa murahnya!! Total 35 buku yang saya beli tidaklah lebih mahal dari 2 buah buku yang saya beli di Gramedia sebelum puasa dulu.

Begitulah petualangan hari Selasa. Lumayan juga saya pikir, beli banyak bayarnya sedikit. Lantas timbul pertanyaan saya atas klaim beberapa dosen dan banyaknya artikel di surat kabar yang menyatakan bangsa Indonesia masih malas untuk membaca. Lha wong yang beli buku aja bejibun gitu, mulai dari pegawai bank sampai mahasiswa. Bukankah minat baca masyarakat tinggi??? Apa mungkin orang-orang yang beli buku berkardus-kardus itu untuk dijual kemudian, dan bukan untuk dibaca? Atau mungkin orang-orang banyak yang punya hobi ngumpulin buku dan bukan baca buku, seperti saya? Yang 40% koleksi buku saya saja belum yakin saya kuasai benar. Wallahu'alam.


NB : Tips untuk yang berminat ke BBM, jangan lupa bawa teman supaya kegiatan mengambil bukunya jadi lebih optimal. Maksudnya temen kita megangin buku, sementara kita mencari sekuat tenaga. Kalau tuh tenaga sudah habis, gantian deh...he he he

Labels:

Thursday, November 02, 2006

Intermezzo

Ditilik dari sikap dan penampilannya, biasa saja. Tidak ada yang istimewa, seperti mahasiswa pada umumnya. Tapi cobalah berdiskusi dengannya, akan terurai dengan jelas pribadi macam apa dia. Pemahamannya mendalam, meski terkadang kurang bisa disampaikan dengan sistematis. Pengamatan yang dilakukannya selalu berujung pada pertanyaan yang keluar dari kebiasaan yang ada; bisa dibilang kritis, kalau tidak boleh dibilang "aneh". Sudah hampir dua tahun kami tidak pernah bersua secara langsung, kecuali beberapa SMS dan testimonial di Friendster. Nasihat "Don't judge a book by its cover" benar-benar layak disematkan kepada adik kelas sekaligus sahabat saya yang satu ini.

Pernah suatu waktu kami membahas tentang kepanitiaan di kampus. Tipikal acara yang dibuat, proses pembuatan acara dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan maupun kegagalan sebuah acara. Yang masih saya ingat hingga sekarang adalah kesimpulan pada sebuah diskusi kami. Bahwa : akar korupsi di negeri ini ternyata ada pada kepanitiaan mahasiswa di kampus. Lho kok bisa? Jawabannya ada pada mark-up dana pada hampir setiap anggaran yang dibuat panitia. Misalnya dana logistik berdasar perhitungan sebesar 1,5 juta, namun dengan alasan keamanan atau (lebih parah lagi) demi alasan profit, maka pos dinaikkan menjadi 2,5 juta. Dalam pelaksanaannya, tentu saja panitia berusaha mencari tempat2 penyewaan peralatan yang paling murah, sehingga ada selisih dana yang didapat dan dana yang dibelanjakan (inilah yang kami sebut profit). Dia berargumen bahwa panitia tersebut telah membohongi penyandang dana dan penikmat acara. Kenapa? Karena seharusnya ketersediaan logistik yang dapat disediakan bisa mencapai 2,5 juta, namun karena "otak" profit panitia, penikmat acara hanya disuguhkan logistik sebesar 1,5 juta. Lain halnya kalau memang acara itu bertujuan untuk mengumpulkan profit. Alih-alih demikian, trend pembulatan anggaran hampir ada di seluruh kepanitiaan di organisasi kami; baik yang profit oriented maupun non-profit oriented. Argumen yang menurut saya cukup nyeleneh dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Ada lagi pemikirannya mengenai : memberi uang pada anak jalanan. Dalam sebuah pesta rakyat di seberang kampus, sepotong nasihat diberikan oleh ibu-ibu pengasuh anak jalanan : "Jangan pernah memberikan uang pada anak jalanan. Berikan mereka makanan dan senyuman." Jelas nasihat ini berlawanan dengan pendapat sahabat saya tadi. Argumennya adalah apakah setiap anak jalanan yang ada dapat terjangkau oleh yayasan2 penampung? Bagaimana kalau mereka betul2 membutuhkan uang? Memang dalam pasal 34 UUD'45 (kalau belum bergeser setelah amandemen) dikatakan bahwa fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh negara. Tapi kondisinya sekarang? Apa negara mampu? Lantas, sampai kapan kita menunggu negara? Sampai anak2 jalanan itu kelaparan dan sakit?? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab oleh saya. Akhirnya, hingga sekarang saya sepakat dengannya. Mungkin memberikan uang bukan cara membantu yang terbaik bagi anak2 jalanan, namun melarang memberikan uang juga tidak bisa dikatakan solutif untuk mereka semuanya. Saya memilih membebaskan orang untuk membantu dengan cara apappun terhadap anak jalanan.

Paling sering obrolan kami "nyangkut" di politik kampus. Teori2 konspiratif, tebakan-tebakan langkah politik, pemetaan kubu dan hitungan-hitungan massa kerap mewarnai diskusi kami. Belakangan saya juga tahu, bahwa sastra juga menjadi kegemarannya.

Sahabat saya yang luar biasa ini akhirnya harus meninggalkan kampus karena terjebak dalam sebuah fase dari kurikulum yang agak kurang jelas manfaatnya. Dengan rentang jarak di antara kami, masih sering sms2 mengenai politik kampus dan korupsi menyapa HP saya. Tanpa kalimat pendahuluan dan bahkan langsung ke topik. Namun sejak sms-nya yang terakhir kami belum pernah berhubungan lagi. Entah kenapa saya terfikir saat ini untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan di blog. Semoga bisa menjadi pengingat buat saya, bahwa kebenaran itu bisa datang dari siapa saja. Wallahu'alam

NB : Tulisan perdana setelah Ramadhan. Kembali sedang berusaha meluruskan niat : "Untuk apa sih menulis?"
Untuk sang sahabat yang seringkali menginspirasi, sungguh saya rindu obrolan2 kita di malam-malam panjang selepas jam penat di sekre. Ditemani roti bakar, nasi goreng hingga soto padang...
Apa kabar di sana TW? Next-time loe yang traktir ya =D

Labels: