Pilkada(l) dan Polusi Billboard
Awalnya biasa saja... Saya pikir memang sudah sewajarnya sebagai Wakil Gubernur, foto beliau terpampang dalam beberapa pengumuman di Billboard jalanan ibukota. Mulai dari gerakan anti narkoba, ucapan 17 Agustus-an hingga jenis-jenis pesan lain. Sama seperti saya melihat Billboard bergambar Bpk. Sutiyoso tentang wajib pajak.
Lantas muncul kabar bahwa yang bersangkutan punya kans untuk mencalonkan (atau dicalonkan) menjadi gubernur selanjutnya. Sampai sini masih biasa saja... Hingga pagi ini terbetik pertanyaan usil dari benak saya : "Kalau memang beliau mau menjadi gubernur selanjutnya, tentu butuh kampanye bukan? Dan bukankah Billboard adalah media kampanye juga? Dan kenapa saya baru kepikiran sekarang untuk menanyakan sebuah hal penting : duit buat bikin Billboard dari mana????"
Kecil kemungkinan Billboard2 yang terpasang dananya berasal dari kocek pribadi. Bukan bermaksud su'udzan, tapi menurut saya ini serius. Bila pada akhirnya yang bersangkutan maju menjadi calon gubernur, maka KPUD selayaknya merunut momen-momen pemasangan Billboard. Ini setidaknya bisa diklasifikasikan ke dalam dua jenis pelanggaran : curi-curi start dan penyalahgunaan fasilitas negara. Sekali lagi, kalau terbukti kecurigaan saya ini benarrr... Belum tentu juga kan tapinya? Hanya prasangka yang saya ingin ungkapkan di sini.
Yah sekian tentang prasangka... Semoga ada manfaatnya saya tuliskan di sini (maklum belum mampu bikin uraian yang bisa menembus surat kabar).
Berbicara Billboard, saya jadi teringat kota Bandung, 4 tahun (lebih sih...) berkuliah menimba ilmu di sana, saya melihat kesamaan corak dengan Jakarta. Apa gerangan? Adanya perampasan hak pengguna jalan untuk melihat indahnya horison di sore hari. Lho kok bisa? Ya itu, Billboard segede gaban dipasang di sepanjang Jalan Dago, tentang rokok pula! Dan saya yakin, ukuran huruf PERINGATAN PEMERINTAH TENTANG BAHAYA MEROKOK pasti lebih dari 250 pt skala Microsoft Word. Belum puas juga, silahkan tengok jembatan penyeberangan.. Habis sudah oleh beragam iklan-iklan yang sejatinya bisa diringkas dalam sebuah ungkapan pendek : "JADILAH KONSUMTIF!! DEMI KAMI!" Di Jakarta, Kuningan, Sudirman, dan jalan-jalan besar lainnya senantiasa menghalangi panorama matahari terbenam dengan Billboard2-nya yang menjulang. Ini bisa dikategorikan ke dalam polusi juga; setidaknya polusi pemandangan.
Dalam perspektif Pemda, adalah kewajaran menjamurnya Billboard. Hal ini bisa meningkatkan PAD berkali-kali lipat. Asumsi saya seperti itu, sebab biaya izin pemasangan publikasi spanduk dan baligho saja sudah cukup mahal (untuk ukuran mahasiswa), nah apalagi Billboard2 raksasa seperti itu. Dan biasanya setiap lokasi Billboard punya pelanggannya masing-masing; semisal kartu kredit Anz di bunderan sudirman, Marlboro di beberapa jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya. Tapi coba kita beralih ke perspektif lain, yaitu masalah tata kota. Menurut Marco Kusumawijaya, kota adalah bentuk ultimat dari permukiman. Oleh sebab itu, semua prasyarat permukiman harus tersedia secara baik di kota. Perkembangan perencanaan kota juga mempunya titik sejarah di mana kota dianggap sebagai sebuah taman besar yang asri (Garden City, Ebenezer Howard) bagi penduduknya. Walau pun pandangan ini terbukti naif sejalan dengan perkembangan zaman, namun setidaknya ada hal penting yang bisa diambil : bahwa kota bukan melulu tentang pusat perdagangan dan jasa. Kota juga seharusnya memiliki fungsi permukiman dan fungsi relaksasi, baik alami maupun buatan. Buatan bisa kita temui dengan menjamurnya mall-mall dan pusat rekreasi lainnya. Tapi alami? Bukankah puluhan bahkan ratusan pohon sudah ditebang demi busway dan monorail? Coba hitung berapa persen taman kota di Jakarta? Sudahkah memenuhi standar 20% ruang terbuka hijau untuk wilayah perkotaan? Dan kini, hak untuk melihat langit biru atau terbenamnya matahari di sore hari pun sudah menjadi amat langka di kawasan pusat kota.
Sudah selayaknya fungsi-fungsi kota dikembangkan secara proporsional. Kalau tidak juga, saya jadi kepikiran bisnis baru : paket rekreasi ke wilayah sejuk dan alami bagi warga kota yang penat dengan kehidupan kotanya. Ini berarti fungsi relaksasi kota hilang, dan harus dipenuhi di luar kota. Ada yang berminat dengan bisnis ini? =D
Wallahu'alam
Lantas muncul kabar bahwa yang bersangkutan punya kans untuk mencalonkan (atau dicalonkan) menjadi gubernur selanjutnya. Sampai sini masih biasa saja... Hingga pagi ini terbetik pertanyaan usil dari benak saya : "Kalau memang beliau mau menjadi gubernur selanjutnya, tentu butuh kampanye bukan? Dan bukankah Billboard adalah media kampanye juga? Dan kenapa saya baru kepikiran sekarang untuk menanyakan sebuah hal penting : duit buat bikin Billboard dari mana????"
Kecil kemungkinan Billboard2 yang terpasang dananya berasal dari kocek pribadi. Bukan bermaksud su'udzan, tapi menurut saya ini serius. Bila pada akhirnya yang bersangkutan maju menjadi calon gubernur, maka KPUD selayaknya merunut momen-momen pemasangan Billboard. Ini setidaknya bisa diklasifikasikan ke dalam dua jenis pelanggaran : curi-curi start dan penyalahgunaan fasilitas negara. Sekali lagi, kalau terbukti kecurigaan saya ini benarrr... Belum tentu juga kan tapinya? Hanya prasangka yang saya ingin ungkapkan di sini.
Yah sekian tentang prasangka... Semoga ada manfaatnya saya tuliskan di sini (maklum belum mampu bikin uraian yang bisa menembus surat kabar).
Berbicara Billboard, saya jadi teringat kota Bandung, 4 tahun (lebih sih...) berkuliah menimba ilmu di sana, saya melihat kesamaan corak dengan Jakarta. Apa gerangan? Adanya perampasan hak pengguna jalan untuk melihat indahnya horison di sore hari. Lho kok bisa? Ya itu, Billboard segede gaban dipasang di sepanjang Jalan Dago, tentang rokok pula! Dan saya yakin, ukuran huruf PERINGATAN PEMERINTAH TENTANG BAHAYA MEROKOK pasti lebih dari 250 pt skala Microsoft Word. Belum puas juga, silahkan tengok jembatan penyeberangan.. Habis sudah oleh beragam iklan-iklan yang sejatinya bisa diringkas dalam sebuah ungkapan pendek : "JADILAH KONSUMTIF!! DEMI KAMI!" Di Jakarta, Kuningan, Sudirman, dan jalan-jalan besar lainnya senantiasa menghalangi panorama matahari terbenam dengan Billboard2-nya yang menjulang. Ini bisa dikategorikan ke dalam polusi juga; setidaknya polusi pemandangan.
Dalam perspektif Pemda, adalah kewajaran menjamurnya Billboard. Hal ini bisa meningkatkan PAD berkali-kali lipat. Asumsi saya seperti itu, sebab biaya izin pemasangan publikasi spanduk dan baligho saja sudah cukup mahal (untuk ukuran mahasiswa), nah apalagi Billboard2 raksasa seperti itu. Dan biasanya setiap lokasi Billboard punya pelanggannya masing-masing; semisal kartu kredit Anz di bunderan sudirman, Marlboro di beberapa jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya. Tapi coba kita beralih ke perspektif lain, yaitu masalah tata kota. Menurut Marco Kusumawijaya, kota adalah bentuk ultimat dari permukiman. Oleh sebab itu, semua prasyarat permukiman harus tersedia secara baik di kota. Perkembangan perencanaan kota juga mempunya titik sejarah di mana kota dianggap sebagai sebuah taman besar yang asri (Garden City, Ebenezer Howard) bagi penduduknya. Walau pun pandangan ini terbukti naif sejalan dengan perkembangan zaman, namun setidaknya ada hal penting yang bisa diambil : bahwa kota bukan melulu tentang pusat perdagangan dan jasa. Kota juga seharusnya memiliki fungsi permukiman dan fungsi relaksasi, baik alami maupun buatan. Buatan bisa kita temui dengan menjamurnya mall-mall dan pusat rekreasi lainnya. Tapi alami? Bukankah puluhan bahkan ratusan pohon sudah ditebang demi busway dan monorail? Coba hitung berapa persen taman kota di Jakarta? Sudahkah memenuhi standar 20% ruang terbuka hijau untuk wilayah perkotaan? Dan kini, hak untuk melihat langit biru atau terbenamnya matahari di sore hari pun sudah menjadi amat langka di kawasan pusat kota.
Sudah selayaknya fungsi-fungsi kota dikembangkan secara proporsional. Kalau tidak juga, saya jadi kepikiran bisnis baru : paket rekreasi ke wilayah sejuk dan alami bagi warga kota yang penat dengan kehidupan kotanya. Ini berarti fungsi relaksasi kota hilang, dan harus dipenuhi di luar kota. Ada yang berminat dengan bisnis ini? =D
Wallahu'alam
Labels: KotaKita
7 Comments:
artikel yang bagus. keep on goin'
By raka, at 9:55 AM
modal bung... semua tentang modal...
By Awan Diga Aristo, at 4:42 AM
hmmm....
By Pecintalangit, at 10:43 AM
1. Bagus...
2. Btw, kalo dicermati, tulisan2 Agung tu "bapennas" banget yahh?
3. Pak Marco? Marco yang di tulisan Agung tu arsitek bukan? Kalo ga salah beliau juga yang menerjemahkan buku Bornstein, How to Change The World..
4. Ide bisnisnya menarik;) Jangan dishare dulu, Gung...Entar dicuri orang...hehehe
By Anonymous, at 8:11 AM
Buat dik Raka : matur nuwun sanget udah mampir... Salam buat yang lain ya. Saya kangen banget =))
Buat awan : hmm, jadi mau modalin bisnis saya nih ? he he
Buat syeddath : hmmmm.. juga. kok ga diupdate-update mas??
Buat ika :
1. Ah biasa aja =)
2. Klarifikasi dulu nih, "bappenas' banget maksudnya apa? Beda lagi kerjaan saya sama tulisan saya di blog... Bener deh =D
3. Marco Kusumawijaya. Arsitek, tapi aktif banget dalam forum2 tata kota. Waktu baksil kebakaran beliau juga ada.
4.Ah curi aja, ntar kan bisa share sama saya... He he, yang unik mah disimpen ka, nyantai aja
By agung, at 3:13 PM
Hey men, check out this sweet site I found, I wasn't sure if it was real at first, but it is! I tried it out and these alternative to penis surgery awesome!!!
Check out the special discounts they have too, I got a real good deal.
Later!
More info on the site: [url=http://www.bestpenisextender.com/order.php]cheap penis extender tool[/url]
P.S. Sorry for posting in "this" category. Please move my topic to an appropriate forum.
By Anonymous, at 6:39 PM
Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!
By Anonymous, at 8:42 PM
Post a Comment
<< Home