Jakarta, Berbenahlah...
"First, men shape buildings. And then the buildings shape us.." [Winston Churchill]
Berapa kali perjalanan rumah-kantor, atau rumah-kampus yang telah kita lalui? Begitu rutinnya, maka akan ada saatnya kita bahkan tidak perlu berpikir untuk menuju rumah,kantor atau kampus. Cukup hanya ikuti jalur biasa dan pikiran kita bisa melanglang buana ke hal-hal di luar perjalanan itu. Atau, coba amati perilaku orang di sebuah gedung bertingkat dengan fasilitas lift. Karena begitu biasanya seseorang naik-turun menggunakan lift, hingga terkadang hanya untuk berpindah satu lantai saja, otomatis ia langsung menekan tombol lift; padahal kalau mau sedikit berhitung, lewat tangga akan jauh lebih cepat.
Ungkapan Churchill di atas relatif terkenal di kalangan arsitektur dan urban designer. Bangunan yang kita desain untuk kemudahan, lambat-laun akan mempengaruhi perilaku kita; manusia yang menempatinya. Dalam skala yang lebih luas, maka kota atau wilayah dapat dijadikan contoh. Kembali kali ini kasus Jakarta akan diangkat.
Beberapa ahli perkotaan berpendapat, Jakarta tidak didesain dengan mengakomodasi transportasi massal. Ruas jalan raya yang besar-besar dan tanpa adanya batasan yang jelas mana jalan untuk mobil pribadi dan mana untuk mobil umum telah menyebabkan usaha untuk mendesain transportasi massal seperti tambal-sulam. Contoh ini dapat dilihat dari jalan raya yang memanjang antara Kota - Blok M; yang merupakan batang tubuh utama desain Kota Jakarta. Jalan raya ini menghubungkan wilayah kota lama [Kota, Harmoni, dll] dengan wilayah kota yang lebih baru [Blok M, Sudirman, dll]. Walhasil, mengubah kebiasaan berkendaraan pribadi amat sulit. Tidak heran bahwa beberapa survey terakhir yang dilakukan menunjukkan tidak adanya perpindahan signifikan dari pengguna mobil pribadi ke pengguna Trans Jakarta.
Struktur permukiman juga menggambarkan adanya kesulitan melihat masalah secara utuh. Konsekuensi sebuah kota menjadi besar adalah dia akan menarik minat penduduk di luar wilayahnya. Gejala ini populer disebut urbanisasi; simpelnya : perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi sebenarnya juga memiliki arti lain, yaitu meluasnya pengaruh wilayah kota hingga "mengakuisisi" daerah-daerah di sekitarnya. Ini dapat dilihat dari tingginya tingkat commuting penduduk Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi ke Jakarta. Dus, terbentuklah wilayah Jabodetabek [+jur]. Penduduk commuting ini memang menimbulkan masalah bagi arus kendaraan harian di jalan-jalan di Jakarta, namun tidak menimbulkan masalah bagi struktur perumahan di Jakarta. Yang kerap dianggap menjadi masalah adalah kedatangan warga luar ibukota untuk menetap; yang biasanya menetap di permukiman-permukiman kumuh dan tak berizin. Masalah ini menjadi lebih rumit ketika perumahan itu digusur. Warga luar ibukota dengan ekonomi pas-pasan perlu tempat "singgah sejenak" sebelum bergerak ke strata ekonomi yang lebih tinggi. Permukiman "informal" menyediakan solusi bagi mereka. Solusi lanjutan yang harus dilakukan pemda adalah memberikan akses kepada lapangan pekerjaan. Menggusur tempat tinggal mereka, bisa saja menghancurkan proses yang telah mereka lalui untuk menyejahterakan diri mereka; proses perpindahan ke strata ekonomi dan sosial yang lebih tinggi. Tindakan gusur dan gebuk hanya akan menyelesaikan masalah kekumuhan, namun masalah sosial di balik itu akan tetap ada. Lambat-laun struktur perumahan yang dipaksakan ini akan meminggirkan kaum miskin dan membuat kota terasing dari warganya sendiri.
Pembenahan masalah perumahan harus terlebih dahulu menganut paradigma bahwa perumahan informal adalah sebuah solusi, dan bukan masalah. Solusi bagi backlog (1) ketersediaan rumah yang seharusnya dipenuhi pemerintah. Dengan demikian, energi yang ada tidak usah dihamburkan untuk menggerakkan ratusan Tramtib, melainkan bisa digunakan untuk kegiatan semisal : penyediaan akses ke kredit keuangan mikro, penyediaan infrastruktur dasar permukiman dan pemugaran perumahan yang kumuh.
Terakhir tentang kepenatan. Ungkapan : "Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri" menggambarkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Berhitung jumlah ruang publik dan ruang terbuka hijau, sungguh sangat sedikit. Tekanan hidup yang sangat tinggi yang dialami warganya sehari-hari, kerap mencerminkan Jakarta sebagai kota yang angkuh, keras dan tidak bermoral. Kepenatan tersebut dapat digambarkan demikian : Bagaimana tidak marah, ketika berada dalam antrian terdepan TransJakarta lantas diserobot tiba2 dari belakang? Bagaimana tidak kesal ketika seringkali menemui kemacetan panjang di jalanan? Bagaimana tidak dongkol ketika dari setiap trotoar yang kita lalui, hanya asap tebal yang kita peroleh?
Terlalu dini mungkin bila mengambil kesimpulan bahwa ada korelasi erat antara "suasana hati" dengan objek yang dilihat dan diamati. Namun, banyak orang merasakan demikian. Trotoar yang rapih dan tidak dilalui sepeda motor minimal membuat jalan kaki akan menjadi lebih nyaman. Pepohonan rindang dan saringan knalpot kendaraan bermotor akan membuat nafas lebih segar dan sejuk. Antrian yang rapih dan taman kota yang cantik dapat mengurangi beban stress selepas bekerja. Ah, sungguh Jakarta memang harus berbenah.
Wallahu'alam
Berapa kali perjalanan rumah-kantor, atau rumah-kampus yang telah kita lalui? Begitu rutinnya, maka akan ada saatnya kita bahkan tidak perlu berpikir untuk menuju rumah,kantor atau kampus. Cukup hanya ikuti jalur biasa dan pikiran kita bisa melanglang buana ke hal-hal di luar perjalanan itu. Atau, coba amati perilaku orang di sebuah gedung bertingkat dengan fasilitas lift. Karena begitu biasanya seseorang naik-turun menggunakan lift, hingga terkadang hanya untuk berpindah satu lantai saja, otomatis ia langsung menekan tombol lift; padahal kalau mau sedikit berhitung, lewat tangga akan jauh lebih cepat.
Ungkapan Churchill di atas relatif terkenal di kalangan arsitektur dan urban designer. Bangunan yang kita desain untuk kemudahan, lambat-laun akan mempengaruhi perilaku kita; manusia yang menempatinya. Dalam skala yang lebih luas, maka kota atau wilayah dapat dijadikan contoh. Kembali kali ini kasus Jakarta akan diangkat.
Beberapa ahli perkotaan berpendapat, Jakarta tidak didesain dengan mengakomodasi transportasi massal. Ruas jalan raya yang besar-besar dan tanpa adanya batasan yang jelas mana jalan untuk mobil pribadi dan mana untuk mobil umum telah menyebabkan usaha untuk mendesain transportasi massal seperti tambal-sulam. Contoh ini dapat dilihat dari jalan raya yang memanjang antara Kota - Blok M; yang merupakan batang tubuh utama desain Kota Jakarta. Jalan raya ini menghubungkan wilayah kota lama [Kota, Harmoni, dll] dengan wilayah kota yang lebih baru [Blok M, Sudirman, dll]. Walhasil, mengubah kebiasaan berkendaraan pribadi amat sulit. Tidak heran bahwa beberapa survey terakhir yang dilakukan menunjukkan tidak adanya perpindahan signifikan dari pengguna mobil pribadi ke pengguna Trans Jakarta.
Struktur permukiman juga menggambarkan adanya kesulitan melihat masalah secara utuh. Konsekuensi sebuah kota menjadi besar adalah dia akan menarik minat penduduk di luar wilayahnya. Gejala ini populer disebut urbanisasi; simpelnya : perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi sebenarnya juga memiliki arti lain, yaitu meluasnya pengaruh wilayah kota hingga "mengakuisisi" daerah-daerah di sekitarnya. Ini dapat dilihat dari tingginya tingkat commuting penduduk Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi ke Jakarta. Dus, terbentuklah wilayah Jabodetabek [+jur]. Penduduk commuting ini memang menimbulkan masalah bagi arus kendaraan harian di jalan-jalan di Jakarta, namun tidak menimbulkan masalah bagi struktur perumahan di Jakarta. Yang kerap dianggap menjadi masalah adalah kedatangan warga luar ibukota untuk menetap; yang biasanya menetap di permukiman-permukiman kumuh dan tak berizin. Masalah ini menjadi lebih rumit ketika perumahan itu digusur. Warga luar ibukota dengan ekonomi pas-pasan perlu tempat "singgah sejenak" sebelum bergerak ke strata ekonomi yang lebih tinggi. Permukiman "informal" menyediakan solusi bagi mereka. Solusi lanjutan yang harus dilakukan pemda adalah memberikan akses kepada lapangan pekerjaan. Menggusur tempat tinggal mereka, bisa saja menghancurkan proses yang telah mereka lalui untuk menyejahterakan diri mereka; proses perpindahan ke strata ekonomi dan sosial yang lebih tinggi. Tindakan gusur dan gebuk hanya akan menyelesaikan masalah kekumuhan, namun masalah sosial di balik itu akan tetap ada. Lambat-laun struktur perumahan yang dipaksakan ini akan meminggirkan kaum miskin dan membuat kota terasing dari warganya sendiri.
Pembenahan masalah perumahan harus terlebih dahulu menganut paradigma bahwa perumahan informal adalah sebuah solusi, dan bukan masalah. Solusi bagi backlog (1) ketersediaan rumah yang seharusnya dipenuhi pemerintah. Dengan demikian, energi yang ada tidak usah dihamburkan untuk menggerakkan ratusan Tramtib, melainkan bisa digunakan untuk kegiatan semisal : penyediaan akses ke kredit keuangan mikro, penyediaan infrastruktur dasar permukiman dan pemugaran perumahan yang kumuh.
Terakhir tentang kepenatan. Ungkapan : "Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri" menggambarkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Berhitung jumlah ruang publik dan ruang terbuka hijau, sungguh sangat sedikit. Tekanan hidup yang sangat tinggi yang dialami warganya sehari-hari, kerap mencerminkan Jakarta sebagai kota yang angkuh, keras dan tidak bermoral. Kepenatan tersebut dapat digambarkan demikian : Bagaimana tidak marah, ketika berada dalam antrian terdepan TransJakarta lantas diserobot tiba2 dari belakang? Bagaimana tidak kesal ketika seringkali menemui kemacetan panjang di jalanan? Bagaimana tidak dongkol ketika dari setiap trotoar yang kita lalui, hanya asap tebal yang kita peroleh?
Terlalu dini mungkin bila mengambil kesimpulan bahwa ada korelasi erat antara "suasana hati" dengan objek yang dilihat dan diamati. Namun, banyak orang merasakan demikian. Trotoar yang rapih dan tidak dilalui sepeda motor minimal membuat jalan kaki akan menjadi lebih nyaman. Pepohonan rindang dan saringan knalpot kendaraan bermotor akan membuat nafas lebih segar dan sejuk. Antrian yang rapih dan taman kota yang cantik dapat mengurangi beban stress selepas bekerja. Ah, sungguh Jakarta memang harus berbenah.
Wallahu'alam
Labels: KotaKita
9 Comments:
Untuk pembenahan jakarta perlu Gubernur yang mengerti jakarte...makanya jangan lupa nyoblos yang bener ntar ya...
By Anonymous, at 10:49 AM
Jakarta memang harus berbenah! (jadi, nyambung ke pilkada nih..)
*komen-nya harusnya dibuat pop-up spy ttp bisa liat postingan.
*kenapa harus dimoderasi komen? pemasungan! :p
By Trian Hendro A., at 12:01 PM
# wiy
Siap Bos.. Berhubung Dapil saya Banten, jadi kontribusi cuma bisa berwacana =D
# Trian
Komen pop-up, kumaha carana?
Moderasi komen? Supaya komen2 spam tidak masuk. Ok? =)
By agung, at 12:15 PM
Gung, nanti di masa depan nyalon jadi gubernur DKI aja..Kan ada kesamaan tuh..sama calon yang sekarang..
sama-sama mengandung "dorodjatoen"
Hehehe..
By Anonymous, at 3:56 PM
# Warastuti
Waduh.. ga berani ah Ka.. He he, masalah nama, kalau Adang Daradjatun menang, saya kayanya bakal dapet banyak manfaat
By agung, at 4:36 AM
that's what we usually call as over-urbanization. Karena ada paradigma pengembangan desa-kota yang keliru dan disebut Lipton (1977) sebagai urban bias. Seharusnya pengembangan desa-kota (urban-rural) dianggap sebagai satu entity.
By Galuh S Indraprahasta, at 9:45 AM
# Galuh
Humm.. ya ya nyambungnya ke "trickeling down effect" dan "backwash effect" kalau ga salah
By agung, at 6:43 PM
wah mas judulnya kaya tagline kampanye salah satu calon cagub =D
By hdytsgt, at 4:11 AM
pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik
By pupuk organik, at 5:52 AM
Post a Comment
<< Home