pasopati

Thursday, November 02, 2006

Intermezzo

Ditilik dari sikap dan penampilannya, biasa saja. Tidak ada yang istimewa, seperti mahasiswa pada umumnya. Tapi cobalah berdiskusi dengannya, akan terurai dengan jelas pribadi macam apa dia. Pemahamannya mendalam, meski terkadang kurang bisa disampaikan dengan sistematis. Pengamatan yang dilakukannya selalu berujung pada pertanyaan yang keluar dari kebiasaan yang ada; bisa dibilang kritis, kalau tidak boleh dibilang "aneh". Sudah hampir dua tahun kami tidak pernah bersua secara langsung, kecuali beberapa SMS dan testimonial di Friendster. Nasihat "Don't judge a book by its cover" benar-benar layak disematkan kepada adik kelas sekaligus sahabat saya yang satu ini.

Pernah suatu waktu kami membahas tentang kepanitiaan di kampus. Tipikal acara yang dibuat, proses pembuatan acara dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan maupun kegagalan sebuah acara. Yang masih saya ingat hingga sekarang adalah kesimpulan pada sebuah diskusi kami. Bahwa : akar korupsi di negeri ini ternyata ada pada kepanitiaan mahasiswa di kampus. Lho kok bisa? Jawabannya ada pada mark-up dana pada hampir setiap anggaran yang dibuat panitia. Misalnya dana logistik berdasar perhitungan sebesar 1,5 juta, namun dengan alasan keamanan atau (lebih parah lagi) demi alasan profit, maka pos dinaikkan menjadi 2,5 juta. Dalam pelaksanaannya, tentu saja panitia berusaha mencari tempat2 penyewaan peralatan yang paling murah, sehingga ada selisih dana yang didapat dan dana yang dibelanjakan (inilah yang kami sebut profit). Dia berargumen bahwa panitia tersebut telah membohongi penyandang dana dan penikmat acara. Kenapa? Karena seharusnya ketersediaan logistik yang dapat disediakan bisa mencapai 2,5 juta, namun karena "otak" profit panitia, penikmat acara hanya disuguhkan logistik sebesar 1,5 juta. Lain halnya kalau memang acara itu bertujuan untuk mengumpulkan profit. Alih-alih demikian, trend pembulatan anggaran hampir ada di seluruh kepanitiaan di organisasi kami; baik yang profit oriented maupun non-profit oriented. Argumen yang menurut saya cukup nyeleneh dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Ada lagi pemikirannya mengenai : memberi uang pada anak jalanan. Dalam sebuah pesta rakyat di seberang kampus, sepotong nasihat diberikan oleh ibu-ibu pengasuh anak jalanan : "Jangan pernah memberikan uang pada anak jalanan. Berikan mereka makanan dan senyuman." Jelas nasihat ini berlawanan dengan pendapat sahabat saya tadi. Argumennya adalah apakah setiap anak jalanan yang ada dapat terjangkau oleh yayasan2 penampung? Bagaimana kalau mereka betul2 membutuhkan uang? Memang dalam pasal 34 UUD'45 (kalau belum bergeser setelah amandemen) dikatakan bahwa fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh negara. Tapi kondisinya sekarang? Apa negara mampu? Lantas, sampai kapan kita menunggu negara? Sampai anak2 jalanan itu kelaparan dan sakit?? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab oleh saya. Akhirnya, hingga sekarang saya sepakat dengannya. Mungkin memberikan uang bukan cara membantu yang terbaik bagi anak2 jalanan, namun melarang memberikan uang juga tidak bisa dikatakan solutif untuk mereka semuanya. Saya memilih membebaskan orang untuk membantu dengan cara apappun terhadap anak jalanan.

Paling sering obrolan kami "nyangkut" di politik kampus. Teori2 konspiratif, tebakan-tebakan langkah politik, pemetaan kubu dan hitungan-hitungan massa kerap mewarnai diskusi kami. Belakangan saya juga tahu, bahwa sastra juga menjadi kegemarannya.

Sahabat saya yang luar biasa ini akhirnya harus meninggalkan kampus karena terjebak dalam sebuah fase dari kurikulum yang agak kurang jelas manfaatnya. Dengan rentang jarak di antara kami, masih sering sms2 mengenai politik kampus dan korupsi menyapa HP saya. Tanpa kalimat pendahuluan dan bahkan langsung ke topik. Namun sejak sms-nya yang terakhir kami belum pernah berhubungan lagi. Entah kenapa saya terfikir saat ini untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan di blog. Semoga bisa menjadi pengingat buat saya, bahwa kebenaran itu bisa datang dari siapa saja. Wallahu'alam

NB : Tulisan perdana setelah Ramadhan. Kembali sedang berusaha meluruskan niat : "Untuk apa sih menulis?"
Untuk sang sahabat yang seringkali menginspirasi, sungguh saya rindu obrolan2 kita di malam-malam panjang selepas jam penat di sekre. Ditemani roti bakar, nasi goreng hingga soto padang...
Apa kabar di sana TW? Next-time loe yang traktir ya =D

Labels:

2 Comments:

  • wah, kangen kampus nih..

    *saya juga harus waspada sindrom kaya gini

    By Anonymous Anonymous, at 11:15 AM  

  • hmm.. sedikit, tapi tepatnya kangen temen =D

    Waspadalah!! He he he

    By Blogger agung, at 11:53 AM  

Post a Comment

<< Home