Potret Transportasi Publik di Ibukota [1]
Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) menyatakan akan melakukan aksi mogok nasional bila pemerintah tidak juga bisa memberantas aksi pungutan liar (pungli) dan suap yang selama ini sudah menjadi beban para anggotanya [sumber : website Menko Kesra]
Sebenarnya berita ini saya dengar di penghujung Maghrib di radio Elshinta, hanya karena tidak menemukan versi online-nya, maka saya cuplik dari website Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. Aneh beritanya bukan? Tidak juga, malahan saya berpendapat ini adalah cara terbaik untuk menyelesaikan segudang masalah transportasi publik di ibukota, khususnya di darat. Frustrasi? Mungkin iya, tapi siapa yang tidak frustrasi menggunakan transportasi publik di Jakarta? Sebagai pengguna setia, jujur saya sudah di ambang batas kritis, dan menuju ke arah kondisi cuek.
Baik, mari kita urut permasalahan yang ada. Pertama di sektor angkutan bus umum. Setiap hari pulang-pergi kantor ada hal unik yang saya amati. Di setiap putaran atau di setiap perhentian banyak terdapat oknum-oknum, yang terkadang menggunakan baju dinas salah satu instansi pemerintah pusat, meminta uang kepada kenek bus. Dapat dipastikan bahwa itu adalah pungutan tidak resmi. Kenapa? Terkadang saya amati adanya paksaan dan bentakan kepada kenek bus dari oknum tersebut. Belum lagi adanya beking dari aparat-aparat berwenang. Di beberapa tempat, modus permintaan uang tidak resmi itu masih bisa ditolerir. Caranya, si oknum bersangkutan menjual jasa kepada supir bus. Jasa mencatat jarak waktu antar bus dengan trayek sama, atau kita sebut sebagai timer. Timer ini bermanfaat untuk menjaga kerenggangan jarak antar bus dengan trayek sama atau beririsan, supaya masing-masing mendapat jatah penumpang yang optimal; dan supaya tidak ada kejadian dua bus dengan nomor trayek sama persis berjalan berbaris, dijamin bus yang paling belakang akan rugi karena penumpang diambil semua oleh bus yang depan.
Masalah yang lainnya adalah mekanisme ”setoran” yang ditetapkan kepada setiap bus. Mekanisme ini menetapkan batas minimal uang yang harus disetorkan setiap hari oleh supir bus bersangkutan. Jumlah setoran sangat tinggi; berdasarkan hasil wawancara singkat dengan penumpang bus yang cukup paham, diketahui setoran sehari bisa mencapai angka sejuta rupiah. Walhasil supir bus akan pontang-panting mengejar setoran, tanpa mengindahkan rambu-rambu yang berlaku. Dan seringkali walaupun dengan membayar tarif normal 2.000 rupiah, Anda tetap tidak bisa mendapatkan ”kenyamanan” di dalam sebuah bus kota, terutama jam-jam sibuk kantor. Bukan hanya itu saja, buat Anda yang belum terbiasa naik bus kota, siap-siaplah untuk terkilir setelah meloncat turun dari bus. Ada tekniknya supaya tidak terkilir; karena bus masih melaju setengah kencang waktu menurunkan penumpang. Ini semua akibat setoran yang teramat tinggi, belum lagi biaya-biaya pungli dan biaya ”siluman” lainnya seperti saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Menurut Ketua DPP Organda, Murphy Hutagalung, pungli dan suap saja sudah mencapai 30% dari total pengeluaran mereka, atau sekitar Rp 18 triliun, dan itu belum termasuk biaya ”siluman” akibat preman di lapangan.
Masalah di sektor bus umum sebenarnya cukup banyak di samping masalah setoran. Ada masalah bus yang sudah tidak layak pakai; dengan asapnya yang mengepul tebal berwarna hitam. Ada pula masalah keselamatan, dimana sang kenek dengan leluasa bergelantungan dengan separuh badan keluar kendaraan. Demikian pula dengan masalah pemahaman supir bus terhadap rambu-rambu lalu-lintas. Namun, permasalahan mendasar ada pada setoran, karena ini yang menyangkut kesejahteraan supir dan keneknya. Dengan perhatian lebih terhadap kesejahteraan sopir dan kenek, niscaya pelayanan angkutan umum bus akan dapat ditingkatkan.
Mengambil konsep bus ”TransJakarta”, maka sebaiknya konsep ”setoran” ditiadakan dan diganti dengan gaji tetap. Dengan tiadanya batas minimal setoran, maka keinginan sopir bus untuk mengambil penumpang sebanyak-banyaknya akan hilang. Sopir akan berkonsentrasi terhadap keselamatan penumpang dan memperhatikan rambu-rambu lalu-lintas; atau setidaknya hanya berhenti pada halte yang tersedia. Tentu saja dalam menerapkan sistem penggajian perlu dipertimbangkan kelayakan ekonomi operator-operator bus. Di sini subsidi pemerintah dibutuhkan dalam beberapa hal. Di samping itu, operator bus harus berlomba-lomba meningkatkan efisiensinya agar dapat menerapkan sistem penggajian yang layak. Masalah berikutnya dari sistem penggajian ini adalah perilaku sang supir. Dengan gaji cenderung tetap, dan mungkin di beberapa operator tanpa bonus, maka orang akan cenderung berkurang produktivitasnya. Berbeda dengan konsep ”setoran”, dimana uang yang lebih dari standar minimum setoran akan masuk kantong supir dan kenek. Sistem penggajian harus dibuat dengan cukup menarik dan tentu saja ada insentif untuk supir-supir dengan kinerja baik. Tidak mudah memang, dan alternatif hitung-hitungan ekonominya mungkin akan lebih banyak menempatkan operator dalam posisi merugi. Oleh sebab itu, peran subsidi pemerintah pada tahun-tahun awal penerapan sistem penggajian amat penting.
Masalah setoran ini hanyalah satu dari sekian banyak masalah di sektor angkutan bus umum. Namun, hanya dengan diawali dari sini perbaikan menyeluruh sistem angkutan bus umum bisa dilakukan.
Wallahu'alambishshawab
Sebenarnya berita ini saya dengar di penghujung Maghrib di radio Elshinta, hanya karena tidak menemukan versi online-nya, maka saya cuplik dari website Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. Aneh beritanya bukan? Tidak juga, malahan saya berpendapat ini adalah cara terbaik untuk menyelesaikan segudang masalah transportasi publik di ibukota, khususnya di darat. Frustrasi? Mungkin iya, tapi siapa yang tidak frustrasi menggunakan transportasi publik di Jakarta? Sebagai pengguna setia, jujur saya sudah di ambang batas kritis, dan menuju ke arah kondisi cuek.
Baik, mari kita urut permasalahan yang ada. Pertama di sektor angkutan bus umum. Setiap hari pulang-pergi kantor ada hal unik yang saya amati. Di setiap putaran atau di setiap perhentian banyak terdapat oknum-oknum, yang terkadang menggunakan baju dinas salah satu instansi pemerintah pusat, meminta uang kepada kenek bus. Dapat dipastikan bahwa itu adalah pungutan tidak resmi. Kenapa? Terkadang saya amati adanya paksaan dan bentakan kepada kenek bus dari oknum tersebut. Belum lagi adanya beking dari aparat-aparat berwenang. Di beberapa tempat, modus permintaan uang tidak resmi itu masih bisa ditolerir. Caranya, si oknum bersangkutan menjual jasa kepada supir bus. Jasa mencatat jarak waktu antar bus dengan trayek sama, atau kita sebut sebagai timer. Timer ini bermanfaat untuk menjaga kerenggangan jarak antar bus dengan trayek sama atau beririsan, supaya masing-masing mendapat jatah penumpang yang optimal; dan supaya tidak ada kejadian dua bus dengan nomor trayek sama persis berjalan berbaris, dijamin bus yang paling belakang akan rugi karena penumpang diambil semua oleh bus yang depan.
Masalah yang lainnya adalah mekanisme ”setoran” yang ditetapkan kepada setiap bus. Mekanisme ini menetapkan batas minimal uang yang harus disetorkan setiap hari oleh supir bus bersangkutan. Jumlah setoran sangat tinggi; berdasarkan hasil wawancara singkat dengan penumpang bus yang cukup paham, diketahui setoran sehari bisa mencapai angka sejuta rupiah. Walhasil supir bus akan pontang-panting mengejar setoran, tanpa mengindahkan rambu-rambu yang berlaku. Dan seringkali walaupun dengan membayar tarif normal 2.000 rupiah, Anda tetap tidak bisa mendapatkan ”kenyamanan” di dalam sebuah bus kota, terutama jam-jam sibuk kantor. Bukan hanya itu saja, buat Anda yang belum terbiasa naik bus kota, siap-siaplah untuk terkilir setelah meloncat turun dari bus. Ada tekniknya supaya tidak terkilir; karena bus masih melaju setengah kencang waktu menurunkan penumpang. Ini semua akibat setoran yang teramat tinggi, belum lagi biaya-biaya pungli dan biaya ”siluman” lainnya seperti saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Menurut Ketua DPP Organda, Murphy Hutagalung, pungli dan suap saja sudah mencapai 30% dari total pengeluaran mereka, atau sekitar Rp 18 triliun, dan itu belum termasuk biaya ”siluman” akibat preman di lapangan.
Masalah di sektor bus umum sebenarnya cukup banyak di samping masalah setoran. Ada masalah bus yang sudah tidak layak pakai; dengan asapnya yang mengepul tebal berwarna hitam. Ada pula masalah keselamatan, dimana sang kenek dengan leluasa bergelantungan dengan separuh badan keluar kendaraan. Demikian pula dengan masalah pemahaman supir bus terhadap rambu-rambu lalu-lintas. Namun, permasalahan mendasar ada pada setoran, karena ini yang menyangkut kesejahteraan supir dan keneknya. Dengan perhatian lebih terhadap kesejahteraan sopir dan kenek, niscaya pelayanan angkutan umum bus akan dapat ditingkatkan.
Mengambil konsep bus ”TransJakarta”, maka sebaiknya konsep ”setoran” ditiadakan dan diganti dengan gaji tetap. Dengan tiadanya batas minimal setoran, maka keinginan sopir bus untuk mengambil penumpang sebanyak-banyaknya akan hilang. Sopir akan berkonsentrasi terhadap keselamatan penumpang dan memperhatikan rambu-rambu lalu-lintas; atau setidaknya hanya berhenti pada halte yang tersedia. Tentu saja dalam menerapkan sistem penggajian perlu dipertimbangkan kelayakan ekonomi operator-operator bus. Di sini subsidi pemerintah dibutuhkan dalam beberapa hal. Di samping itu, operator bus harus berlomba-lomba meningkatkan efisiensinya agar dapat menerapkan sistem penggajian yang layak. Masalah berikutnya dari sistem penggajian ini adalah perilaku sang supir. Dengan gaji cenderung tetap, dan mungkin di beberapa operator tanpa bonus, maka orang akan cenderung berkurang produktivitasnya. Berbeda dengan konsep ”setoran”, dimana uang yang lebih dari standar minimum setoran akan masuk kantong supir dan kenek. Sistem penggajian harus dibuat dengan cukup menarik dan tentu saja ada insentif untuk supir-supir dengan kinerja baik. Tidak mudah memang, dan alternatif hitung-hitungan ekonominya mungkin akan lebih banyak menempatkan operator dalam posisi merugi. Oleh sebab itu, peran subsidi pemerintah pada tahun-tahun awal penerapan sistem penggajian amat penting.
Masalah setoran ini hanyalah satu dari sekian banyak masalah di sektor angkutan bus umum. Namun, hanya dengan diawali dari sini perbaikan menyeluruh sistem angkutan bus umum bisa dilakukan.
Wallahu'alambishshawab
Labels: KotaKita