Sepakbola Indonesia di Titik Nadir
Sebuah penetrasi dari sayap kiri Kuwait, seorang pemain Indonesia sekuat tenaga melepaskan umpan yang agak tinggi ke kotak penalti Kuwait. Dari postur tubuh, jelas duo-striker Indonesia akan kalah dalam perebutan bola. Namun momen yang penuh sejarah itu pun akhirnya tercipta, dengan gerakan salto Widodo Cahyono Putro menendang bola sekuat tenaga untuk menembus penjagaan kiper Kuwait. Walhasil itu adalah gol terbaik Piala Asia 1996. Belum ditambah lagi dengan gol kedua hasil penetrasi dan tendangan geledek Ronny Wabia. Lengkap sudah malam itu Indonesia (PSSI) menorehkan sejarah dengan menahan imbang Kuwait 2-2. Walau pun pada akhirnya harus mengakui keunggulan Korsel dan tersingkir di babak awal, tapi momen itu masih melegenda.
Bagaimana sekarang? Baru saja beberapa minggu lalu saya menyaksikan Timnas senior ditekuk 3 kali oleh Myanmar, Kamerun dan Finlandia. Lebih parah lagi, mereka semua tim junior usia 23 tahun. Kamerun dan Finlandia, okelah.. Ujung-ujungnya Christian Bekamenga dikontrak Persib. Tapi Myanmar??? Bila yang berlaga timnas usia 23 tahun saya masih agak rela, tapi ini timnas senior!
Belum cukup dengan itu, coba tengok timnas usia 23 yang digembleng pelatih asal Belanda : Foppe de Haan. Sama saja buruknya... Ditekuk Irak 0-6, Suriah 1-4, cuma bisa seri lawan Singapura 1-1. Hasilnya, Asian Games ini kembali Indonesia tanpa perwakilan di cabang sepakbola. Melihat hasil timnas usia 23 tahun ini, saya jadi teringat zaman timnas senior waktu menjalani pemusatan latihan di Australia dulu. Sama saja, tidak ada hasilnya dan buang-buang duit. Timnas usia 23 tahun ini sudah menjalani pemusatan latihan di Belanda selama berminggu-minggu; bahkan total persiapannya sudah mencapai 6 bulan, masih kalah juga..
Sepakbola di Indonesia, khususnya timnas PSSI, seakan-akan tidak mampu dan hilang kekuatan ketika dihadapkan pada pertanyaan : " Kenapa membuat tim beranggotakan 11 orang yang mahir bermain sepak bola saja susah? Padahal di negeri ini kurang lebih ada 400 juta pasang kaki.." Pembinaan menjadi kata kunci. Sejauh pengamatan saya dalam perkembangan timnas, proyek yang cukup berhasil adalah PSSI Primavera. Jebolannya semisal Kurniawan Dwi Julianto, Indriyanto Seto Nugroho, Kurnia Sandy dan gelandang dengan tendangan geledek Bima Sakti. Pemain-pemain ini cukup bisa membawa PSSI berprestasi dipadu dengan pemain-pemain yang besar di kompetisi semisal Fachry Husaini, Irwansyah, Ansyari Lubis dan Adji Santoso.
Berbicara pembinaan, berbicara kompetisi. Buat saya, jauh lebih memikat Liga Indonesia semasa Jacksen F. Tiago masih bermain di Persebaya daripada liga saat ini. Kualitas pemain asing yang masuk sepertinya juga mempengaruhi di samping kepatuhan pemain terhadap wasit yang semakin lama semakin menyedihkan. Campuran pemain asing-Indonesia di kompetisi saat ini sepertinya belum berhasil memacu pemain dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dulu, gemerlap liga dapat diukur dengan ramainya Perang Bintang yang digelar di tengah kompetisi. Sekarang? Liga Indonesia sudah mulai kehilangan daya tariknya selain berita tuduhan dan pemukulan terhadap wasit.
Perubahan formasi timnas senior juga sepertinya berpengaruh terhadap kebiasaan tim. 3-5-2 adalah format tradisional klub-klub di Indonesia. Semasa Ivan Kolev melatih PSSI, formasi 4-4-2 coba dipaksakan dan hasilnya kurang baik. Demikian pula kini Peter Withe mencoba formasi yang sama dan menuai kegagalan di kualifikasi Asian Games. Komposisi 5 gelandang dimana 3 adalah gelandang tengah dan 2 bek sayap yang bisa naik-turun (dulu diperankan Adjie Santoso dan Anang Ma'ruf) sepertinya masih ideal untuk menutupi kelemahan kemampuan olah bola gelandang timnas. Pola 4-4-2 mengurangi orang pada saat melakukan serangan, sementara 3-5-2 justru memperbanyak dengan adanya 2 bek yang bisa naik-turun. Pola 4-4-2 cocok bila timnas memiliki playmaker handal dengan kemampuan olah bola baik. Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin lebih bagus dalam posisinya sebagai jangkar dan gelandang bertahan, sehingga pola 3-5-2 akan mampu mengalihkan tugas menusuk pada kedua sayap yang bisa diperankan Mahyadi Panggabean, Ortizan Salossa maupun Erol F.X. Iba.
Slogan menuju Piala Dunia 2010 yang didengung-dengungkan Nurdin Halid pada saat syukurannya sebagai Ketua PSSI (yang konon menghabiskan dana 1 M) sepertinya harus direvisi. Keikutsertaan Indonesia dalam Piala Asia 2007 pun (ini bisa ikut karena Indonesia jadi tuan rumah) bisa terancam memalukan. Pembenahan harus dimulai dengan konsep yang jelas dan langkah yang revolusioner. Mulai dari penegakan aturan hingga pembenahan kompetisi. Buat saya tidaklah mengapa PSSI tanpa target selama 3-4 tahun untuk konsentrasi pembinaan asal dilakukan dengan profesional. Supaya kita tidak melulu menengok ke belakang dan hanya bisa berangan-angan.
Wallahu'alambishawwab
Catatan : analisis dangkal dari seorang pemerhati timnas...
Tapi walau pun kesal, tetap saja saya masih deg-degan kalau nonton timnas main. Ini kali ya yang namanya benci tapi rindu =D
Bagaimana sekarang? Baru saja beberapa minggu lalu saya menyaksikan Timnas senior ditekuk 3 kali oleh Myanmar, Kamerun dan Finlandia. Lebih parah lagi, mereka semua tim junior usia 23 tahun. Kamerun dan Finlandia, okelah.. Ujung-ujungnya Christian Bekamenga dikontrak Persib. Tapi Myanmar??? Bila yang berlaga timnas usia 23 tahun saya masih agak rela, tapi ini timnas senior!
Belum cukup dengan itu, coba tengok timnas usia 23 yang digembleng pelatih asal Belanda : Foppe de Haan. Sama saja buruknya... Ditekuk Irak 0-6, Suriah 1-4, cuma bisa seri lawan Singapura 1-1. Hasilnya, Asian Games ini kembali Indonesia tanpa perwakilan di cabang sepakbola. Melihat hasil timnas usia 23 tahun ini, saya jadi teringat zaman timnas senior waktu menjalani pemusatan latihan di Australia dulu. Sama saja, tidak ada hasilnya dan buang-buang duit. Timnas usia 23 tahun ini sudah menjalani pemusatan latihan di Belanda selama berminggu-minggu; bahkan total persiapannya sudah mencapai 6 bulan, masih kalah juga..
Sepakbola di Indonesia, khususnya timnas PSSI, seakan-akan tidak mampu dan hilang kekuatan ketika dihadapkan pada pertanyaan : " Kenapa membuat tim beranggotakan 11 orang yang mahir bermain sepak bola saja susah? Padahal di negeri ini kurang lebih ada 400 juta pasang kaki.." Pembinaan menjadi kata kunci. Sejauh pengamatan saya dalam perkembangan timnas, proyek yang cukup berhasil adalah PSSI Primavera. Jebolannya semisal Kurniawan Dwi Julianto, Indriyanto Seto Nugroho, Kurnia Sandy dan gelandang dengan tendangan geledek Bima Sakti. Pemain-pemain ini cukup bisa membawa PSSI berprestasi dipadu dengan pemain-pemain yang besar di kompetisi semisal Fachry Husaini, Irwansyah, Ansyari Lubis dan Adji Santoso.
Berbicara pembinaan, berbicara kompetisi. Buat saya, jauh lebih memikat Liga Indonesia semasa Jacksen F. Tiago masih bermain di Persebaya daripada liga saat ini. Kualitas pemain asing yang masuk sepertinya juga mempengaruhi di samping kepatuhan pemain terhadap wasit yang semakin lama semakin menyedihkan. Campuran pemain asing-Indonesia di kompetisi saat ini sepertinya belum berhasil memacu pemain dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dulu, gemerlap liga dapat diukur dengan ramainya Perang Bintang yang digelar di tengah kompetisi. Sekarang? Liga Indonesia sudah mulai kehilangan daya tariknya selain berita tuduhan dan pemukulan terhadap wasit.
Perubahan formasi timnas senior juga sepertinya berpengaruh terhadap kebiasaan tim. 3-5-2 adalah format tradisional klub-klub di Indonesia. Semasa Ivan Kolev melatih PSSI, formasi 4-4-2 coba dipaksakan dan hasilnya kurang baik. Demikian pula kini Peter Withe mencoba formasi yang sama dan menuai kegagalan di kualifikasi Asian Games. Komposisi 5 gelandang dimana 3 adalah gelandang tengah dan 2 bek sayap yang bisa naik-turun (dulu diperankan Adjie Santoso dan Anang Ma'ruf) sepertinya masih ideal untuk menutupi kelemahan kemampuan olah bola gelandang timnas. Pola 4-4-2 mengurangi orang pada saat melakukan serangan, sementara 3-5-2 justru memperbanyak dengan adanya 2 bek yang bisa naik-turun. Pola 4-4-2 cocok bila timnas memiliki playmaker handal dengan kemampuan olah bola baik. Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin lebih bagus dalam posisinya sebagai jangkar dan gelandang bertahan, sehingga pola 3-5-2 akan mampu mengalihkan tugas menusuk pada kedua sayap yang bisa diperankan Mahyadi Panggabean, Ortizan Salossa maupun Erol F.X. Iba.
Slogan menuju Piala Dunia 2010 yang didengung-dengungkan Nurdin Halid pada saat syukurannya sebagai Ketua PSSI (yang konon menghabiskan dana 1 M) sepertinya harus direvisi. Keikutsertaan Indonesia dalam Piala Asia 2007 pun (ini bisa ikut karena Indonesia jadi tuan rumah) bisa terancam memalukan. Pembenahan harus dimulai dengan konsep yang jelas dan langkah yang revolusioner. Mulai dari penegakan aturan hingga pembenahan kompetisi. Buat saya tidaklah mengapa PSSI tanpa target selama 3-4 tahun untuk konsentrasi pembinaan asal dilakukan dengan profesional. Supaya kita tidak melulu menengok ke belakang dan hanya bisa berangan-angan.
Wallahu'alambishawwab
Catatan : analisis dangkal dari seorang pemerhati timnas...
Tapi walau pun kesal, tetap saja saya masih deg-degan kalau nonton timnas main. Ini kali ya yang namanya benci tapi rindu =D
Labels: Pemikiran
7 Comments:
Gw ga percaya sama Nurdin, gw ga percaya sama Nugraha Besoes. Mereka ga pernah ngomong visi-nya tentang sepakbola nasional. Mereka cuma ngomong mimpi dan karena mereka ngomong mimpi maka jalannya pun instan. Se-instan pelatihan timnas U-23 di Belanda, se-instan impor pemain muda Brazil menjadi pemain nasional Indonesia masa depan. Karena instan, meraka ga mw lihat bagaimana kerasnya Jepang membangun kompetisi dalam negeri. Karena mimpi, mereka ga punya pijakan yang jelas. There is a difference between knowing the path and walking the path (Morpheus, The Matrix).
Orang Indonesia ga bisa main bola lagi nantinya. Lapangan dah habis, adanya mall, pertokoan, dan perumahan.
Pemain Indinesia katanya ga suka sepakbola karena mereka lebih suka olah raga nasional yang dinamakan pencak silat. Jangan heran kalo pemain bola jago silat apalagi di lapangan.
Mending klub perserikatan bubar, ngabisan APBD saja. Kasihan rakyat, sudah ga terhibur karena permainnya jelek, preatasinya pun seret. Mending uangnya untuk bangun rakyat miskin. Kalau masih pakai 3-5-2 mlulu, beli aja mesin waktu supaya dapatin lawan seimbang di tahun 1920-an.
By Anonymous, at 5:31 PM
He 71x...
Ini orang pesimis amattt..
Ini juga indikasi benci "sekali" tapi juga rindu "sekali"
Sabar..sabar... Coba duetnya Bambang Pamungkas itu saya ya =D
By agung, at 12:51 PM
This comment has been removed by a blog administrator.
By agung, at 1:00 PM
sepakbola Indonesia... ah Optimis sajalah..
Seorang teman mengatakan.. manajerial sepakbola di Indonesia di duduki oleh orang yang tidak tahu sepak bola, mereka hanya sekedar punya "kekuasaan", lalu jadilah ia pengurus...
yah... gambaran jelasnya ya sekarang ini....
kalau gituh... saya kipernya ya!!!!
By Pecintalangit, at 1:58 PM
sepakat ama kak galuh....
dan denger2 sekarang lagi rame dibahas isw gila lain, yang lebih instan dan lebih goblok): menaturalisasi pemain asing untuk jadi pemain timnas.
Ya...kita tunggu lah...
By Lucky, at 4:20 PM
gimana ya, udah capek nungguin sepakbola Indonesia berjaya. udah apatis. nonsense. mungkin kak agung harus jadi ketua PSSI dulu kali ya hehe
By Anonymous, at 11:39 AM
#syeddath
Bukan hanya sepak bola, rata2 pengurus pucuk cabang olahraga di Indonesia memang dihuni orang2 yang kental dengan politik.
Kiper? Jadi! =D
#Lucky
luk, kalau yang dinaturalisasi Rooney sama Beckham gimana?? =D
#raka
Waduh jangan saya deh... Saya mah ga ngerti apa2 he he he
By agung, at 7:30 AM
Post a Comment
<< Home