Mendefinisikan Keadilan
Berbicara keadilan... Seorang guru saya mengajarkan pengertian keadilan secara menarik : meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, bila sandal diletakkan di kepala dan topi diletakkan di kaki, itu adalah sebuah ketidakadilan. Hmm.. lucu memang. Tapi rumusan ini kalau ditelaah lebih jauh dan diaplikasikan, maka cukup membantu dalam mendefinisikan adil dan tidak adil. Lebih lanjut, keadilan didefinisikan sebagai "memberikan seseorang sesuai dengan haknya".
Sore kemarin kembali saya mendapat pertanyaan yang berupa lintasan pikiran mengenai makna keadilan. Masih terkait dengan masalah pilih-memilih (seperti postingan sebelumnya; dan tumben sekali posting harinya deketan gini...). Sore itu saya dihadapkan pada beberapa pilihan : pengamen dengan krecekan (tutup botol yang disusun dan ditusuk dengan besi atau kayu)-nya, penjual permen asam, atau penjual perlengkapan sehari-hari (semisal gunting kuku, korek kuping, korek api, dll dengan harga hanya 1.000 rupiah tiap buahnya). Pada yang mana uang 1.000 saya akan saya berikan? Menuruti emosi, maka saya lebih memilih pengamen tersebut. Kenapa? Karena pengamen itu adalah seorang ibu dan sedang membawa anak. Lagipula, dalam pemikiran saya, ibu itu mungkin memang tidak bisa berusaha apa-apa lagi; berbeda dengan penjual permen asam dan penjual barang-barang sadaya aya (semua ada) tadi yang masih bapak-bapak dan cukup sehat.
Sejenak kemudian, saya seperti mengalami deja vu. Pilihan-pilihan seperti itu ternyata selalu ada di setiap lampu merah yang saya lewati dalam keseharian saya pulang kantor. Dan hasil perhitungan saya, seringkali saya memberi kepada mereka (ibu2, anak2 atau pun tuna netra) yang meminta-minta. Salahkah? Semuanya berawal dari niat; dan yang mengetahui kemurnian niat seseorang hanyalah dirinya dan Allah SWT. Jadi mungkin benar-salah tidak bisa muncul dari penghakiman orang yang melihat. Tapi melihat dari kacamata objek yang menjadi pilihan, maka ada sebuah pendapat yang menarik.
Mungkin saja para penjual barang-barang, penjual koran dan penjual2 lainnya merasa tidak diperlakukan secara adil. Kenapa? Bukankah mereka memeras keringat dengan menjual "sesuatu"?? Bukankah berjualan di sudut2 lampu merah adalah sebuah pekerjaan yang halal?? Lantas kenapa yang diberi malah mereka yang meminta-minta dan tidak menjual apa-apa? Okelah, mungkin para pengemis itu menjual "perasaan kasihan" dengan kondisinya yang (maaf) kadang cacat; dengan kondisinya yang masih anak2 kecil; dan dengan kondisinya yang sudah tua renta. Tapi apa lantas itu bisa menjadi sebuah pengecualian yang dapat menafikkan kenyataan bahwa : mereka semua sedang bekerja saat itu... Bekerja menjual barang, bekerja menjual belas kasihan dan lainnya. Dan sudah selayaknya semua memperoleh peluang yang sama untuk mendapatkan rupiah demi rupiah dari para pengendara.
Paragraf di atas adalah tebakan saya atas pemikiran para penjaja barang; dan bukan bermaksud berburuk sangka. Hanya sebuah tebakan yang didasarkan pada rutinitas pemberian infaq saya. Sepertinya saya harus mendefinisikan ulang makna keadilan yang saya pahami. Adil menurut saya belum tentu adil menurut mereka yang diberi atau tidak diberi.
Terkait dengan memberi pada anak-anak jalanan, saya pernah mendapat nasihat yang cukup bagus : "Jangan pernah memberi uang, cukup beri mereka penganan kecil plus sesungging senyum." Untuk apa? Agar pola pikir mereka tidak hanya uang, uang dan uang... Seorang sahabat meng-counter nasihat ini dengan berpendapat : "Kalau mereka butuhnya uang terus gimana? Mau nungguin dibantu sama pemerintah? Sampe kapan?? Keburu udah ga ada kali!! Jadi ngasih duit juga engga apa-apa!"
Kedua pandangan itu benar menurut saya. Tidak ada yang salah, tergantung kondisi dan situasi yang sedang berlangsung. Bila merujuk pada definisi keadilan di paragraf pertama (memberi sesuai haknya), maka yang jadi pertanyaan adalah apakah hak anak-anak jalanan tersebut? Bisa jadi memang mereka butuh uang untuk sekolah; maka jadilah uang itu adalah haknya. Haknya yang telah dirampas dari para wajib pajak dan wajib zakat yang mangkir. Bila pada saat itu ia hanya disuruh oleh orang tuanya untuk mencari uang, sementara ia dalam keadaan lapar yang amat sangat, maka jadilah makanan itu sebagai haknya.
Fiuuhhh.. Sulitnya berbuat adil, terlebih bila emosi senantiasa mendominasi. Ah sudahlah.. saya sudahi saja ceracau tentang keadilan ini. Semoga pengalaman demi pengalaman senantiasa menyeimbangkan timbangan sikap adil yang saya miliki.
Wallahu'alambishawwab
Sore kemarin kembali saya mendapat pertanyaan yang berupa lintasan pikiran mengenai makna keadilan. Masih terkait dengan masalah pilih-memilih (seperti postingan sebelumnya; dan tumben sekali posting harinya deketan gini...). Sore itu saya dihadapkan pada beberapa pilihan : pengamen dengan krecekan (tutup botol yang disusun dan ditusuk dengan besi atau kayu)-nya, penjual permen asam, atau penjual perlengkapan sehari-hari (semisal gunting kuku, korek kuping, korek api, dll dengan harga hanya 1.000 rupiah tiap buahnya). Pada yang mana uang 1.000 saya akan saya berikan? Menuruti emosi, maka saya lebih memilih pengamen tersebut. Kenapa? Karena pengamen itu adalah seorang ibu dan sedang membawa anak. Lagipula, dalam pemikiran saya, ibu itu mungkin memang tidak bisa berusaha apa-apa lagi; berbeda dengan penjual permen asam dan penjual barang-barang sadaya aya (semua ada) tadi yang masih bapak-bapak dan cukup sehat.
Sejenak kemudian, saya seperti mengalami deja vu. Pilihan-pilihan seperti itu ternyata selalu ada di setiap lampu merah yang saya lewati dalam keseharian saya pulang kantor. Dan hasil perhitungan saya, seringkali saya memberi kepada mereka (ibu2, anak2 atau pun tuna netra) yang meminta-minta. Salahkah? Semuanya berawal dari niat; dan yang mengetahui kemurnian niat seseorang hanyalah dirinya dan Allah SWT. Jadi mungkin benar-salah tidak bisa muncul dari penghakiman orang yang melihat. Tapi melihat dari kacamata objek yang menjadi pilihan, maka ada sebuah pendapat yang menarik.
Mungkin saja para penjual barang-barang, penjual koran dan penjual2 lainnya merasa tidak diperlakukan secara adil. Kenapa? Bukankah mereka memeras keringat dengan menjual "sesuatu"?? Bukankah berjualan di sudut2 lampu merah adalah sebuah pekerjaan yang halal?? Lantas kenapa yang diberi malah mereka yang meminta-minta dan tidak menjual apa-apa? Okelah, mungkin para pengemis itu menjual "perasaan kasihan" dengan kondisinya yang (maaf) kadang cacat; dengan kondisinya yang masih anak2 kecil; dan dengan kondisinya yang sudah tua renta. Tapi apa lantas itu bisa menjadi sebuah pengecualian yang dapat menafikkan kenyataan bahwa : mereka semua sedang bekerja saat itu... Bekerja menjual barang, bekerja menjual belas kasihan dan lainnya. Dan sudah selayaknya semua memperoleh peluang yang sama untuk mendapatkan rupiah demi rupiah dari para pengendara.
Paragraf di atas adalah tebakan saya atas pemikiran para penjaja barang; dan bukan bermaksud berburuk sangka. Hanya sebuah tebakan yang didasarkan pada rutinitas pemberian infaq saya. Sepertinya saya harus mendefinisikan ulang makna keadilan yang saya pahami. Adil menurut saya belum tentu adil menurut mereka yang diberi atau tidak diberi.
Terkait dengan memberi pada anak-anak jalanan, saya pernah mendapat nasihat yang cukup bagus : "Jangan pernah memberi uang, cukup beri mereka penganan kecil plus sesungging senyum." Untuk apa? Agar pola pikir mereka tidak hanya uang, uang dan uang... Seorang sahabat meng-counter nasihat ini dengan berpendapat : "Kalau mereka butuhnya uang terus gimana? Mau nungguin dibantu sama pemerintah? Sampe kapan?? Keburu udah ga ada kali!! Jadi ngasih duit juga engga apa-apa!"
Kedua pandangan itu benar menurut saya. Tidak ada yang salah, tergantung kondisi dan situasi yang sedang berlangsung. Bila merujuk pada definisi keadilan di paragraf pertama (memberi sesuai haknya), maka yang jadi pertanyaan adalah apakah hak anak-anak jalanan tersebut? Bisa jadi memang mereka butuh uang untuk sekolah; maka jadilah uang itu adalah haknya. Haknya yang telah dirampas dari para wajib pajak dan wajib zakat yang mangkir. Bila pada saat itu ia hanya disuruh oleh orang tuanya untuk mencari uang, sementara ia dalam keadaan lapar yang amat sangat, maka jadilah makanan itu sebagai haknya.
Fiuuhhh.. Sulitnya berbuat adil, terlebih bila emosi senantiasa mendominasi. Ah sudahlah.. saya sudahi saja ceracau tentang keadilan ini. Semoga pengalaman demi pengalaman senantiasa menyeimbangkan timbangan sikap adil yang saya miliki.
Wallahu'alambishawwab
Labels: Keseharian
5 Comments:
kenapa ga bawa receh banyak..dan bagi kepada mereka?
atau yang seribu, sehari buat pengamen, dua hari buat penjual..
setidaknya kita berusaha adil bung!
By Trian Hendro A., at 6:10 PM
itulah yang dikeluhkan kawan-kawan di rumah singgah
anak-anak pengamen banyak yg kembali ke jalanan karena mudahnya dapet uang di jalan
mau membantu mereka ? bagaimana jika kita kunjungi rumah singgah ?
tanya bagaimana cara membantu ?
:)
By Anonymous, at 2:20 AM
Buat trian hendro :
Repot euy bawa receh banyak. Seribu sehari gantian lebih baik. Tapi kalo lagi ga butuh barang yang dijual kumaha?
Buat mas yoyok :
Hmm.. ini tawaran serius mas? Ada link ke rumah singgah? Boleh aja. Saya belum pernah berhubungan langsung dengan rumah singgah soalnya
By agung, at 6:08 AM
Hmmm..
saya pernah menjumpai laki-laki setengah baya di perempatan jalan, di deket trafiict light, saat itu jam menunjukkan 19:30 wib dan alam sedang gerimis, si bapak dengan sabar masih menggenggam beberapa eksemplar koran harian pagi!, dan saya.....hanya bisa berdoa , semoga si bapak bisa bahagia, amien Ya robbal 'Alamieyn.
( karena bahagia memilik definisi tersendiri bagi tiap insan!)
By Pecintalangit, at 11:59 AM
Dear friend, Your blog is very interesting and well written. I feel like I have learned a wealth of information by stopping and spending some time here. As a way to repay your kindness, I have just decided to show you how to recieve about 397 dollars worth of downloadable gifts. This must be a limited time offer, as I don't know how much longer this exiting information will be on my website....Go and check out the opportunites I have for you. Your gifts are a way saying thank for your kindness and consideration.
To find out more, visit my mlm site. It successfully covers FREE information exposing FREE traffic and mlm related stuff.
By Anonymous, at 2:35 PM
Post a Comment
<< Home