pasopati

Monday, April 23, 2007

Fragmen

Di suatu sore saya melintasi pelataran sebuah pusat perbelanjaan. Kebiasaan yang mulai jamak dilakukan masyarakat perkotaan terlihat di depan saya. Seorang gadis, sendirian, membaca buku tebal --entah novel atau apa-- di Starbucks. Ternyata amat mudah jawaban dari pertanyaan : "Bagaimana menggalakkan minat baca warga Indonesia?" Bangun warung kopi a la Starbucks sebanyak-banyaknya, dengan fasilitas internet wi-fi dan kalau perlu dilengkapi dengan koleksi buku. Solusi atau malah masalah?? Saya sama bingungnya dengan Anda.

******************************

Kemarin sore, sepotong diskusi dengan rekan kantor tentang kehidupan sosial dan tradisi di Yogyakarta memunculkan kesimpulan : Yogyakarta tidak rentan terhadap kerusuhan sosial. Maklum, semenjak Pemerintah menetapkan kerusuhan sosial sebagai salah satu dari tipe bencana, maka topiknya pun masuk ruang kerja saya.

Kompas 19 April 2006, berita utamanya adalah tentang pisowanan agung yang dilakukan Sultan Hamengku Buwono X. Beliau menolak masuk ke bursa pencalonan gubernur DI Yogyakarta dan mengambil ancang-ancang untuk berkiprah di skala nasional. Pengamat politik berpendapat, pisowanan agung dalam perspektif politik dapat dianggap sebagai langkah pengujian, seberapa banyak masyarakat Yogyakarta yang masih loyal terhadap sultannya. Berikutnya? Tentu perhitungan politik dapat dilakukan sang sultan.

Ketika masyarakat yang memegang teguh budaya saja masih mau cawe-cawe dalam urusan politik, saya justru bingung. Kenapa banyak di antara kita yang [katanya] memegang teguh prinsip-prinsip beragama malah menganggap politik itu kotor? Sama banyaknya dengan staf-staf di birokrasi yang acuh tak acuh dengan politik. Jangan-jangan jargon "politik itu kotor" sengaja dikampanyekan oleh mereka yang pro status-quo dan kita telan bulat-bulat??

******************************

Di suatu malam, telepon genggam saya berdering. Adik-adik di Bandung, yang sudah lama tidak ditengok, menyapa dan mohon doa restu menjelang Ujian Akhir Nasional [UAN]. Katanya, setelah itu mau masuk PTN dambaan.

Polemik UAN kembali berkembang tahun ini. Setelah tahun lalu “skandal” Paket C belum selesai diusut, UAN kembali digulirkan di tengah maraknya konsep pendidikan alternatif yang mulai ditawarkan komunitas-komunitas masyarakat. Karena tulisan kali ini judulnya "fragmen", saya tidak bermaksud mengupas tuntas tentang UAN. Pikiran saya justru melayang ke sebuah kolom kecil surat kabar ternama. Isinya : Mendiknas kita menempatkan acara talkshow “Empat Mata” di prioritas pertama acara televisi yang wajib ditonton. Alasannya, lucu karena menertawakan diri sendiri dan bukan menghina orang lain. Duh… habis sudah komentar saya.. No wonder!!

Labels:

Thursday, April 12, 2007

Semangat Itu Masih Di Sana


Sebuah Rekomendasi Buku : Tears Of Heaven, From Beirut to Jerusalem


"..Pagi itu tanggal 15 September. Aku tengah terlelap di apartemen para dokter sukarelawan asing di Hamra. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh raungan suara pesawat-pesawat yang melintas di atasku. Mereka tiba dari Laut Tengah dan menuju selatan, ke daerah Beirut Barat yang menjadi lokasi kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila... Salah seorang pasienku berkata, "Tidak apa-apa Doctora, kami tahu bukan Anda yang membatalkan operasi kami. Sharonlah yang membatalkannya.. Baru pada pukul delapan pagi kami mendengar ledakan pertama. Ledakan itu seperti bom-bom yang dimuntahkan dari tank, bukan dijatuhkan dari udara. Aku menuju bagian paling atas rumah sakit -lantai sepuluh- dan menyaksikan bom-bom meledak di rumah-rumah di kawasan Beirut Barat." [Tears of heaven, halaman 135, 137, 138]


Berlatar pertempuran di wilayah Lebanon pada tahun 1982-1987, antara Israel-penghuni kamp pengungsian Palestina, faksi Lebanon-penghuni kamp Palestina, dan pertempuran antar faksi di Lebanon, Dr. Ang Swee Chai mengisahkan memoarnya menjadi seorang tenaga sukarelawan medis di wilayah kamp-kamp pengungsian penduduk Palestina di wilayah Lebanon, semisal Shabra, Shatila dan Bourj el-Brajneh. Berawal dari memenuhi panggilan untuk bekerja secara sukarela di Lebanon hingga menjadi seorang pendiri lembaga bantuan Medical Aid for Palestina [MAP] dan penerima Star of Palestine dari [alm] Yasser Arafat.


Pengalaman di kamp-kamp tersebut telah mengubah pendapat dokter tersebut tentang konflik di Timur Tengah, tentang "teroris" dan bukan "teroris", dan terutama tentang bangsa Palestina. Masa-masa awal tugasnya Dr. Ang Swee Chai harus menghadapi kenyataan, bahwa para pengungsi dari Palestina yang berada di Lebanon dibantai secara massal oleh sekelompok tentara yang tidak bisa diidentifikasi dengan jelas pada tanggal 15 September 1982, yang dikenal dengan pembantaian Sabra-Shatila. Menjadi lebih dramatis karena pada saat penyerangan itu, dokter tersebut tengah berada di Beirut. Apa yang terungkap kemudian adalah adanya semacam "kerjasama" antara tentara2 tidak dikenal tersebut dengan pasukan Israel di bawah komando Ariel Sharon. Sekelompok tentara itu melakukan tugas kotornya menghabisi penghuni kamp yang sedang terlelap, dan pasukan Israel membiarkan sambil mengawasi. Tujuan yang ingin dicapai jelas, genosida bangsa Palestina agar tanah mereka dapat dikuasai penuh oleh Israel.


Pada saat itu, bangsa Palestina terbagi ke dalam dua wilayah. Pertama, disebut wilayah pendudukan, yaitu di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Wilayah yang dicaplok Israel dengan membonceng Inggris pada tahun 1948. Kedua adalah bangsa Palestina yang terusir dari tanahnya dan mengungsi ke Lebanon dan beberapa negara Arab lain. Di Lebanon terdapat beberapa kamp, seperti Sabra, Shatila, Bourj el-Brajneh, dan Mar Elias. Setiap peristiwa yang terjadi di salah satu wilayah, selalu menginspirasi wilayah lainnya untuk terus berjuang memperoleh kemerdekaan.


Persepsi awal Ang Swee Chai mengenai konflik Palestina-Israel sekejap berubah demi melihat ketidakadilan yang terjadi di sana. Dengan teliti dia menulis data dan fakta pembantaian Shabra-Shatila; dan tidak cukup dengan itu, sebuah surat pernyataan permohonan bantuan kepada warga Inggris. Swee Chai adalah doktor berkebangsaan Singapura yang kemudian menetap di Inggris dan bekerja di sebuah rumah sakit di sana. Surat pernyataan itu tadinya ditujukan untuk dimuat pers Inggris, agar warga Inggris tahu kejadian sebenarnya yang terjadi di Shabra-Shatila. Namun, apa daya karena dianggap tidak memiliki daya jual, surat tersebut tidak kunjung juga dipublikasikan pers.


Perjuangan Swee Chai tidak berhenti di sana. Sebuah upaya demokrasi yang dilakukan oleh Israel berhasil membentuk Komisi "Penyelidikan Kasus Lebanon". Sebuah upaya "setengah hati" yang dilakukan Israel, karena : anggota-anggota komisi bukanlah mereka yang concern terhadap masalah Palestina dan komisi tersebut menolak menggunakan nama "Palestina", dan lebih memilih menggunakan nama "Kasus Lebanon". Swee Chai bersaksi di depan komisi tersebut dan menemukan sebuah "sandiwara" yang tengah berlangsung di sana. Pers mendapatkan berita, Israel menunjukkan bahwa demokrasi berkembang di sana, semua senang, kecuali warga Palestina dan Lebanon yang menjadi korban pembantaian.


November 1982, Swee Chai meninggalkan Beirut untuk kembali ke Inggris. Di Inggris dia melakukan serangkaian pertemuan dengan warga Inggris untuk menceritakan apa yang terjadi di Lebanon, dengan biaya pribadi. Hingga pada akhirnya banyak simpati berdatangan dan terbentuklah Medical Aid for Palestina [MAP] pada tahun 1984. MAP berfungsi sebagai penyalur bantuan dari warga Inggris yang bersimpati terhadap perjuanagn rakya Palestina. Dengan bendera MAP pula Swee Chai kembali ke Beirut, ketika terjadi penyerangan berikutnya pada tahun 1985. Walau pada saat itu digambarkan keadaan lebih parah daripada sebelumnya, kecintaannya pada rakyat Palestina membuatnya selalu ingin kembali. Ke sana, ke Beirut... Shabra, Shatila, Bourj el Brajneh...


Refleksi Memoar Ang Swee Chai dan Perjuangan Palestina


Siapapun yang mengikuti perkembangan global saat ini akan melihat sebuah ketidakadilan masif yang dipertontonkan dunia kepada wilayah Palestina. Palestina yang hingga kini hanya merupakan otorita dan bahkan tidak tercantum di peta dan globe yang dijual secara umum. Di sisi lain, Israel yang tadinya membonceng Inggris, malah telah memiliki sebuah negara berdaulat di sana. Bukan hanya itu, Israel dengan aktif melakukan penggusuran warga Palestina di wilayah-wilayah yang diklaim sebagai wilayahnya.


Perkembangan terakhir memperlihatkan bagaimana upaya persatuan faksi-faksi yang ada di Palestina tidak diberi penghargaan sedikit pun oleh dunia internasional, terlebih-lebih dari Israel. Sudah berbulan-bulan pendapatan Palestina dari perbatasan ditahan oleh Israel untuk sebuah alasan yang aneh : Palestina telah berhasil menjalankan demokrasi, dan menobatkan Hamas sebagai pemenang pemilu. Solidaritas Arab? Solidaritas di atas kertas. KTT Arab terakhir memutuskan setiap bank agar bisa segera mencairkan dana bantuan untuk Palestina pasca diumukannya pemerintahan bersatu Hamas-Fatah. Hasilnya masih nihil sampai sekarang. Rekomendasi KTT Arab itu tidak dituruti oleh bank2 Arab dengan alasan yang tidak jelas.


Menyejukkan, ketika mengetahui ada simpati yang begitu besar dari orang luar Palestina, seperti Dr. Ang Swee Chai dalam memoarnya di atas. Sekaligus ini menjadi refleksi bagi kita, umat Muslim terutama, sejauh mana upaya yang kita lakukan dalam mengejawantahkan hadits Rasulullah SAW : "... sesama muslim itu bersaudara"?


Lidi-lidi harus begabung untuk menjadi sapu yang kuat. Demikian pula ummat; harus menentukan sikapnya untuk bersatu dan bangkit dari keterpurukan. Memoar Ang Swee Chai selayaknya menjadi pengingat kita, bahwa di belahan bumi yang lain banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam ketertindasan. Memikirkan mereka adalah hal pertama yang bisa kita lakukan. Bergerak dengan beragam cara, adalah langkah berikutnya.


Wallahu'alam



"Siapakah orang Palestina? Kami berada di mana-mana. Israel takkan bisa melenyapkan kami; tak seorangpun bisa. Setiap generasi lebih kuat dari generasi sebelumnya. Kami belajar --sungguh-sungguh belajar. Belajar dari kesalahan, belajar dari kekuatan. Tujuannya untuk menang, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, namun pada saatnya nanti" [hal 257]

Labels:

Jakarta, Berbenahlah...

"First, men shape buildings. And then the buildings shape us.." [Winston Churchill]

Berapa kali perjalanan rumah-kantor, atau rumah-kampus yang telah kita lalui? Begitu rutinnya, maka akan ada saatnya kita bahkan tidak perlu berpikir untuk menuju rumah,kantor atau kampus. Cukup hanya ikuti jalur biasa dan pikiran kita bisa melanglang buana ke hal-hal di luar perjalanan itu. Atau, coba amati perilaku orang di sebuah gedung bertingkat dengan fasilitas lift. Karena begitu biasanya seseorang naik-turun menggunakan lift, hingga terkadang hanya untuk berpindah satu lantai saja, otomatis ia langsung menekan tombol lift; padahal kalau mau sedikit berhitung, lewat tangga akan jauh lebih cepat.

Ungkapan Churchill di atas relatif terkenal di kalangan arsitektur dan urban designer. Bangunan yang kita desain untuk kemudahan, lambat-laun akan mempengaruhi perilaku kita; manusia yang menempatinya. Dalam skala yang lebih luas, maka kota atau wilayah dapat dijadikan contoh. Kembali kali ini kasus Jakarta akan diangkat.

Beberapa ahli perkotaan berpendapat, Jakarta tidak didesain dengan mengakomodasi transportasi massal. Ruas jalan raya yang besar-besar dan tanpa adanya batasan yang jelas mana jalan untuk mobil pribadi dan mana untuk mobil umum telah menyebabkan usaha untuk mendesain transportasi massal seperti tambal-sulam. Contoh ini dapat dilihat dari jalan raya yang memanjang antara Kota - Blok M; yang merupakan batang tubuh utama desain Kota Jakarta. Jalan raya ini menghubungkan wilayah kota lama [Kota, Harmoni, dll] dengan wilayah kota yang lebih baru [Blok M, Sudirman, dll]. Walhasil, mengubah kebiasaan berkendaraan pribadi amat sulit. Tidak heran bahwa beberapa survey terakhir yang dilakukan menunjukkan tidak adanya perpindahan signifikan dari pengguna mobil pribadi ke pengguna Trans Jakarta.

Struktur permukiman juga menggambarkan adanya kesulitan melihat masalah secara utuh. Konsekuensi sebuah kota menjadi besar adalah dia akan menarik minat penduduk di luar wilayahnya. Gejala ini populer disebut urbanisasi; simpelnya : perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi sebenarnya juga memiliki arti lain, yaitu meluasnya pengaruh wilayah kota hingga "mengakuisisi" daerah-daerah di sekitarnya. Ini dapat dilihat dari tingginya tingkat commuting penduduk Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi ke Jakarta. Dus, terbentuklah wilayah Jabodetabek [+jur]. Penduduk commuting ini memang menimbulkan masalah bagi arus kendaraan harian di jalan-jalan di Jakarta, namun tidak menimbulkan masalah bagi struktur perumahan di Jakarta. Yang kerap dianggap menjadi masalah adalah kedatangan warga luar ibukota untuk menetap; yang biasanya menetap di permukiman-permukiman kumuh dan tak berizin. Masalah ini menjadi lebih rumit ketika perumahan itu digusur. Warga luar ibukota dengan ekonomi pas-pasan perlu tempat "singgah sejenak" sebelum bergerak ke strata ekonomi yang lebih tinggi. Permukiman "informal" menyediakan solusi bagi mereka. Solusi lanjutan yang harus dilakukan pemda adalah memberikan akses kepada lapangan pekerjaan. Menggusur tempat tinggal mereka, bisa saja menghancurkan proses yang telah mereka lalui untuk menyejahterakan diri mereka; proses perpindahan ke strata ekonomi dan sosial yang lebih tinggi. Tindakan gusur dan gebuk hanya akan menyelesaikan masalah kekumuhan, namun masalah sosial di balik itu akan tetap ada. Lambat-laun struktur perumahan yang dipaksakan ini akan meminggirkan kaum miskin dan membuat kota terasing dari warganya sendiri.

Pembenahan masalah perumahan harus terlebih dahulu menganut paradigma bahwa perumahan informal adalah sebuah solusi, dan bukan masalah. Solusi bagi backlog (1) ketersediaan rumah yang seharusnya dipenuhi pemerintah. Dengan demikian, energi yang ada tidak usah dihamburkan untuk menggerakkan ratusan Tramtib, melainkan bisa digunakan untuk kegiatan semisal : penyediaan akses ke kredit keuangan mikro, penyediaan infrastruktur dasar permukiman dan pemugaran perumahan yang kumuh.

Terakhir tentang kepenatan. Ungkapan : "Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri" menggambarkan kerasnya kehidupan di Jakarta. Berhitung jumlah ruang publik dan ruang terbuka hijau, sungguh sangat sedikit. Tekanan hidup yang sangat tinggi yang dialami warganya sehari-hari, kerap mencerminkan Jakarta sebagai kota yang angkuh, keras dan tidak bermoral. Kepenatan tersebut dapat digambarkan demikian : Bagaimana tidak marah, ketika berada dalam antrian terdepan TransJakarta lantas diserobot tiba2 dari belakang? Bagaimana tidak kesal ketika seringkali menemui kemacetan panjang di jalanan? Bagaimana tidak dongkol ketika dari setiap trotoar yang kita lalui, hanya asap tebal yang kita peroleh?
Terlalu dini mungkin bila mengambil kesimpulan bahwa ada korelasi erat antara "suasana hati" dengan objek yang dilihat dan diamati. Namun, banyak orang merasakan demikian. Trotoar yang rapih dan tidak dilalui sepeda motor minimal membuat jalan kaki akan menjadi lebih nyaman. Pepohonan rindang dan saringan knalpot kendaraan bermotor akan membuat nafas lebih segar dan sejuk. Antrian yang rapih dan taman kota yang cantik dapat mengurangi beban stress selepas bekerja. Ah, sungguh Jakarta memang harus berbenah.

Wallahu'alam

Labels: