pasopati

Sunday, December 17, 2006

Catatan Akhir Pekan

[prolog 1]
Kesabaran.. Itulah salah kesimpulan rekan saya dalam blognya mengenai cara menghadapi problematika bangsa ini. Dalam comment yang sengaja saya tulis dalam Bahasa Inggris [karena posting-annya pun dalam Bahasa Inggris], saya mengajukan tiga bidang yang menjadi fokus: ekonomi, politik dan moral. Saya pribadi lebih senang untuk memilih moral, tapi tidak bisa juga semudah itu. Rekan yang lain, dalam sebuah milis mengatakan bahwa perut adalah masalah utama. Tapi visi ekonomi yang mumpuni dan berpihak pada yang lemah hanya dapat ditegakkan lewat kekuasaan [baca politik]; pun aturan-aturan terkait moral.
-----------------------------------------
[prolog 2]
Sebelum akhir pekan, saya tertarik melihat status YM seorang teman kantor. Bunyinya kurang lebih : "Bangsa ini butuh revolusi.. bukan hanya reformasi!!"
Saya sapa dia dan kami pun bertukar pandangan. Kembali masalah moral menyeruak dan hampir-hampir menjadi kesimpulan pembicaraan.
-----------------------------------------

Sudah hampir dua tahun semenjak saya menolak ajakan teman saya untuk mengikuti sebuah pelatihan yang sedang ngetren waktu itu : pelatihan emotional spiritual quotient. Jika dihitung-hitung, harganya cukup miring dengan trainer yang rasanya cukup sama kemampuannya dengan sang penemu konsep tersebut. Pelatihan khusus mahasiswa. Hanya saja karena adanya kewajiban, maka tawaran tersebut terpaksa saya tolak. Di samping, memang saat itu saya memandang belumlah perlu untuk diri saya training seperti itu [semoga bukan bentuk takabur.. Astaghfirullah...]

Seusai menjalankan kewajiban beruntun di kampus tercinta, saya pun pulang ke rumah di Jakarta [hmm, Jakarta coret sih...]. Ternyata kedua orang tua saya pun sudah mengikuti training tersebut dan sangat merekomendasikannya untuk saya. Lantas saya pun mulai penasaran. Terlebih dengan melihat lambat laun begitu banyaknya alumni training yang merupakan orang-orang dengan jabatan penting. Namun, seiring berjalannya waktu dan tugas-tugas kuliah, kembali rasa penasaran itu pun hilang.

Ternyata dua minggu lalu, adik saya pun merekomendasikan saya untuk mengikuti training tersebut. Dan, ternyata adik saya menjadi panitia training di kampusnya. Dengan gaya ala saleswoman dia pun menawarkan tiket; juga dengan harga mahasiswa. Kebetulan pula harinya Sabtu-Minggu, hari libur. Dengan rekomendasi keluarga dan harga miring, maka rasa penasaran saya pun timbul lagi. Langkah pertama yang saya lakukan adalah menyebarkan sms ke beberapa rekan saya yang berdomisili di Jabotabek untuk menemani. Alhamdulillah, dapat satu orang. Maka kami berdua dengan niat yang sama [penasaran] pun bertekad mengikuti training emotional spiritual quotient.

Beberapa hari sebelum hari-H, seorang sahabat mengirimkan sms :
"Jadi ikut training kan? Perbanyak istighfar dan jangan takabur.. Kalau mau nyari ilmu mana bisa dengan takabur."
Ok, nasehat yang bagus. Lantas saya luruskan niat ini dan persiapkan hati malam sebelumnya.

Pagi itu kami berangkat ke tempat yang diberitahu adik saya. Tempatnya di daerah Kuningan. Jam 6 pagi tepat registrasi, jam 7 pagi mulai acara. Namun dasar orang kantoran, kebayangnya Sabtu-Minggu ya libur, tidur... Jadilah kami berdua telat hampir 20 menit ketika tiba di tempat tujuan. Singkat kata kami pun mengikuti sesi demi sesi di hari pertama itu.

Apa gerangan isi training tersebut? Saya pun mendapat jawaban atas rasa penasaran saya : Mengapa berpuluh-puluh perusahaan mau menggunakan training itu untuk manajemen SDM karyawannya? Mengapa berpuluh-puluh instansi pemerintah pun menggunakan training itu? Apa sih hebatnya?
Kalau boleh saya simpulkan dalam dua buah kata, maka inti training [menurut saya] adalah : muhasabah* diri.

Di dalam alam yang serba materialistis ini, memikirkan orang lain sungguh membutuhkan sebuah usaha ekstra. Training ini berusaha menelanjangi semua pakaian kesombongan yang dianggap wajar saat ini. Training ini berusaha mengenalkan manusia kepada Tuhannya melalui pengenalan kepada diri sendiri. Dan utamanya, training ini berusaha menjelaskan tujuan hidup yang seringkali kabur oleh bahasa-bahasa materi. Karena itu, maka setiap sesinya selalu terjadi tangisan-tangisan akibat sentuhan pembicara pada hati-hati peserta. Disentuh dengan apa? Ada banyak instrumen, mulai ayat-ayat Al-Qur'an, Al-Hadits, kisah, hingga lagu-lagu yang menjadi backsong; pun intonasi pembicara yang naik turun untuk memainkan emosi para peserta.

Sebuah konsep berjudul Zero Mind Process dan God Spot ditunjukkan. Rumah Sang Pencipta ternyata ada jauh di lubuk hati kita. Pada awal kejadian kita pun, ketika ruh itu ditiup, percikan sifat-sifat Allah pun telah diberikan ke dalam ruh kita. Materi berlanjut kepada 99 nama agung yang dimilik Allah, dan mengapa kita seringkali merasa nyaman dengan meniru sifat-sifat tersebut.

Secara keseluruhan saya kagum dengan gerakan --saya menyebutnya gerakan, karena training ini bervisi-- yang dibangun oleh sang penemu konsep. Sang trainer dalam mengenalkan konsepnya menuturkan bahwa mereka memiliki visi Indonesia Emas di tahun 2020. Apa itu Indonesia Emas? Kondisi di mana konsep yang dibawa dalam training itu berhasil disebarkan di seluruh Indonesia dan mempengaruhi warga bangsa ini. Bahkan tidak hanya itu, gerakan ini juga bervisi untuk Dunia Emas di tahun 2050.

Demikian pula dengan konsep dan alur penyampaiannya. Luar biasa. Mulai dari penciptaan alam [bukankah kita diperintahkan untuk mengenal-Nya lewat ciptaan-Nya? Dan lewat silih bergantinya malam dan siang?], perjalanan ke lubuk hati, pendalaman sifat-sifat Allah, hingga metode untuk membebasken belenggu hati yang membuat kita tidak bisa mengoptimalkan God Spot tadi. Seakan-akan kita dibawa untuk menelusuri semua perjalanan hidup [atau lebih tepatnya perjalanan mencari Tuhan] dari sang penemu konsep. Sebuah cara baru untuk menyeru kebaikan kepada manusia. Apalagi training ini sudah memiliki nama.

Selepas training, saya dan teman saya berdiskusi mengenai apa yang kami dapat dalam training tersebut. Kami sepakat dalam hal substansi, bahwa semua yang disampaikan adalah kebenaran belaka. Namun demikian, ada perbedaan pandangan dalam hal penyampaian materi. Teman saya protes berat kepada metode penyampaian materi yang menurutnya terlalu mengeksploitasi kesedihan dan perasaan peserta. Menurut dia, mengubah cara pandang orang bukan dengan cara membuat mereka menangis terus-menerus [dalam satu hari, kami mendapatkan empat sesi di mana setiap sesi ada bagian ketika ruangan dibuat dalam kondisi gelap dengan lantunan lagu yang syahdu, diiringi pertanyaan2 sang trainer yang menghunjam ke hati. Kondusif untuk menangis memang..]. Menurutnya lagi, bahkan para nabi pun menemukan prinsip hidup dan mencari Tuhannya dalam keheningan [Muhammad di Gua Hira, Ibrahim dalam kondisi sendirian pula ketika melakukan pencariannya], dan bukan dengan kondisi yang by design seperti itu.

Dalam beberapa hal saya sepakat. Sang trainer cenderung memaksakan seseorang untuk menangis pada saat-saat tertentu. Entah apakah memang itu konsepnya atau memang itu kreativitas trainer. Menurut saya, memaksakan orang menangis dengan menggunakan musik, pengkondisian ruangan dan perubahan intonasi saja hanya akan membuat peluang untuk terjadinya split personality [meminjam kata2 teman saya lagi]. Terlebih lagi waktu training yang dipadatkan membuat materi menjadi bercampur baur. Setiap sesi diisi dengan kegiatan2 refreshing [yang tentu saja membuat para peserta tertawa] dan diikuti kegiatan muhasabah tadi [yang tentu saja membuat orang menangis]. Jadi, seakan-akan diri ini dipaksakan untuk rileks supaya bisa menangis dengan lancar.

Bila teman saya tidak sepakat sama sekali dengan metode menangis by design tadi, maka saya cukup bisa toleran dengan metode itu asal tidak dilakukan berulang-ulang. Cukup dalam sebuah acara puncak saja, dan tidak setiap sesi.

Tapi sekali lagi, secara keseluruhan training ini cukup baik dalam membongkar tirai kesombongan di hati pesertanya. Dan saya akan terus mencermati pencapaian visi dari training ini ; Indonesia 2020. Kembali kepada prolog saya di atas, cukup menyejukkan mengetahui ada sekumpulan orang yang berusaha membenahi moral bangsa ini. Setiap kita harus mulai mengenal diri sendiri untuk mengetahui tujuan hidupnya, dan tidak hanya larut dalam rutinitas. Semoga para trainer yang menyebarluaskan training tersebut senantiasa istiqomah dan bisa mencapai visinya.

Wallahu'alam

Catatan :
*muhasabah = menghisab diri; menghitung2 amalan yang pernah dilakukan
Pada tahu kan training apa? Sengaja saya cuma sebut namanya sekali, buat ngakalin Mbah Google =D

Labels:

Tuesday, December 12, 2006

Kutipan Minggu Ini

Jiwa itu, menurut Quraish Shihab dalam bukunya Logika dan Agama, ibarat kuda liar. Harus ditaklukkan lewat latihan yang bertahap. Bila tali kekangnya dilepas, maka jiwa akan terbungkus nafsu yang merusak. Namun bila kita sukses mengendalikannya, maka kita baru pantas mendapatkan panggilan "Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah..." (wahai jiwa2 yang tenang..)

Kemalasan adalah hal yang sering saya jumpai dalam aktivitas. Bahkan dalam beberapa waktu, slogan I don't like Monday cukup berhasil mempengaruhi semangat dan daya juang saya. Obatnya adalah mengingat nasihat2 bijak tentang karakter nafsu ini nasihat tentang semangat. Dalam posting kali ini saya kutipkan dua buah nasihat yang biasanya cukup ampuh untuk memacu adrenalin dan meningkatkan semangat untuk beraktivitas.

Kutipan pertama adalah senandung salah seorang sahabat Rasulullah dalam perang Mut'ah, Abdullah bin Rawahah. Kala itu, kepemimpinan pasukan harus dipegang olehnya sebab dua pemimpin sebelumnya : Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abu Thalib sudah syahid terlebih dahulu. Bendera perang pun harus dipegang oleh Abdullah bin Rawahah ini, dan ada sedikit keraguan padanya ketika akan terjun ke medan perang, lantas ia bersenandung :

Wahai diriku aku bersumpah, engkau harus terjun ke medan perang
Engkau harus terjun ke kancah perang atau aku memaksamu terjun
Manusia telah berkumpul dan mengeraskan teriakan
Namun kenapa kulihat engkau benci kepada Surga?
Sudah sekian lama engkau tentram
Dan engkau hanyalah setetes air mani di tempat air!".

‘Wahai diriku, jika engkau tidak terbunuh, engkau tetap akan mati
Inilah kendali kematian telah mengenaimu
Apa yang engkau dambakan telah diberikan kepadamu
Jika engkau mengerjakan perbuatan dua orang (Zaid dan Ja'far), engkau mendapat petunjuk!’.

Kutipan ini mengingatkan saya akan karakteristik jiwa yang memang terkadang cenderung kepada dunia. Dan ia sungguh harus dipaksa untuk berjuang...

Kutipan kedua adalah tentang semangat. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, seorang ulama besar yang juga murid kesayangan Ibnu Taimiyah menukilkan senandung gurunya ketika dipenjara oleh di benteng Damascus karena berbeda pendapat dengan rezim yang berkuasa.

"Apakah gerangan yang akan diperbuat musuh-musuhku kepadaku?
Syurgaku dan kebunku ada di dadaku. Kemanapun aku pergi, dia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Sesungguhnya penjaraku adalah tempat khuluwat-ku, kematianku adalah mati syahid, dan terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku."


Sungguh sebuah ketabahan dan semangat luar biasa diperlihatkan...
Dan, membaca kutipan2 itu adalah obat mujarab untuk jiwa yang sedang lelah.. Saya sudah mencobanya. Semoga juga bermanfaat bagi para pengunjung blog ini =)

Labels:

Monday, December 04, 2006

Sepakbola Indonesia di Titik Nadir

Sebuah penetrasi dari sayap kiri Kuwait, seorang pemain Indonesia sekuat tenaga melepaskan umpan yang agak tinggi ke kotak penalti Kuwait. Dari postur tubuh, jelas duo-striker Indonesia akan kalah dalam perebutan bola. Namun momen yang penuh sejarah itu pun akhirnya tercipta, dengan gerakan salto Widodo Cahyono Putro menendang bola sekuat tenaga untuk menembus penjagaan kiper Kuwait. Walhasil itu adalah gol terbaik Piala Asia 1996. Belum ditambah lagi dengan gol kedua hasil penetrasi dan tendangan geledek Ronny Wabia. Lengkap sudah malam itu Indonesia (PSSI) menorehkan sejarah dengan menahan imbang Kuwait 2-2. Walau pun pada akhirnya harus mengakui keunggulan Korsel dan tersingkir di babak awal, tapi momen itu masih melegenda.

Bagaimana sekarang? Baru saja beberapa minggu lalu saya menyaksikan Timnas senior ditekuk 3 kali oleh Myanmar, Kamerun dan Finlandia. Lebih parah lagi, mereka semua tim junior usia 23 tahun. Kamerun dan Finlandia, okelah.. Ujung-ujungnya Christian Bekamenga dikontrak Persib. Tapi Myanmar??? Bila yang berlaga timnas usia 23 tahun saya masih agak rela, tapi ini timnas senior!

Belum cukup dengan itu, coba tengok timnas usia 23 yang digembleng pelatih asal Belanda : Foppe de Haan. Sama saja buruknya... Ditekuk Irak 0-6, Suriah 1-4, cuma bisa seri lawan Singapura 1-1. Hasilnya, Asian Games ini kembali Indonesia tanpa perwakilan di cabang sepakbola. Melihat hasil timnas usia 23 tahun ini, saya jadi teringat zaman timnas senior waktu menjalani pemusatan latihan di Australia dulu. Sama saja, tidak ada hasilnya dan buang-buang duit. Timnas usia 23 tahun ini sudah menjalani pemusatan latihan di Belanda selama berminggu-minggu; bahkan total persiapannya sudah mencapai 6 bulan, masih kalah juga..

Sepakbola di Indonesia, khususnya timnas PSSI, seakan-akan tidak mampu dan hilang kekuatan ketika dihadapkan pada pertanyaan : " Kenapa membuat tim beranggotakan 11 orang yang mahir bermain sepak bola saja susah? Padahal di negeri ini kurang lebih ada 400 juta pasang kaki.." Pembinaan menjadi kata kunci. Sejauh pengamatan saya dalam perkembangan timnas, proyek yang cukup berhasil adalah PSSI Primavera. Jebolannya semisal Kurniawan Dwi Julianto, Indriyanto Seto Nugroho, Kurnia Sandy dan gelandang dengan tendangan geledek Bima Sakti. Pemain-pemain ini cukup bisa membawa PSSI berprestasi dipadu dengan pemain-pemain yang besar di kompetisi semisal Fachry Husaini, Irwansyah, Ansyari Lubis dan Adji Santoso.

Berbicara pembinaan, berbicara kompetisi. Buat saya, jauh lebih memikat Liga Indonesia semasa Jacksen F. Tiago masih bermain di Persebaya daripada liga saat ini. Kualitas pemain asing yang masuk sepertinya juga mempengaruhi di samping kepatuhan pemain terhadap wasit yang semakin lama semakin menyedihkan. Campuran pemain asing-Indonesia di kompetisi saat ini sepertinya belum berhasil memacu pemain dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dulu, gemerlap liga dapat diukur dengan ramainya Perang Bintang yang digelar di tengah kompetisi. Sekarang? Liga Indonesia sudah mulai kehilangan daya tariknya selain berita tuduhan dan pemukulan terhadap wasit.

Perubahan formasi timnas senior juga sepertinya berpengaruh terhadap kebiasaan tim. 3-5-2 adalah format tradisional klub-klub di Indonesia. Semasa Ivan Kolev melatih PSSI, formasi 4-4-2 coba dipaksakan dan hasilnya kurang baik. Demikian pula kini Peter Withe mencoba formasi yang sama dan menuai kegagalan di kualifikasi Asian Games. Komposisi 5 gelandang dimana 3 adalah gelandang tengah dan 2 bek sayap yang bisa naik-turun (dulu diperankan Adjie Santoso dan Anang Ma'ruf) sepertinya masih ideal untuk menutupi kelemahan kemampuan olah bola gelandang timnas. Pola 4-4-2 mengurangi orang pada saat melakukan serangan, sementara 3-5-2 justru memperbanyak dengan adanya 2 bek yang bisa naik-turun. Pola 4-4-2 cocok bila timnas memiliki playmaker handal dengan kemampuan olah bola baik. Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin lebih bagus dalam posisinya sebagai jangkar dan gelandang bertahan, sehingga pola 3-5-2 akan mampu mengalihkan tugas menusuk pada kedua sayap yang bisa diperankan Mahyadi Panggabean, Ortizan Salossa maupun Erol F.X. Iba.

Slogan menuju Piala Dunia 2010 yang didengung-dengungkan Nurdin Halid pada saat syukurannya sebagai Ketua PSSI (yang konon menghabiskan dana 1 M) sepertinya harus direvisi. Keikutsertaan Indonesia dalam Piala Asia 2007 pun (ini bisa ikut karena Indonesia jadi tuan rumah) bisa terancam memalukan. Pembenahan harus dimulai dengan konsep yang jelas dan langkah yang revolusioner. Mulai dari penegakan aturan hingga pembenahan kompetisi. Buat saya tidaklah mengapa PSSI tanpa target selama 3-4 tahun untuk konsentrasi pembinaan asal dilakukan dengan profesional. Supaya kita tidak melulu menengok ke belakang dan hanya bisa berangan-angan.

Wallahu'alambishawwab



Catatan : analisis dangkal dari seorang pemerhati timnas...
Tapi walau pun kesal, tetap saja saya masih deg-degan kalau nonton timnas main. Ini kali ya yang namanya benci tapi rindu =D

Labels: