pasopati

Wednesday, August 30, 2006

Ayo Naik Taxi Rame-rame...

Di suatu sore, sepasang suami-istri berusia 60 tahunan berjalan bersama serombongan anak lelaki berseragam SMA. Lantas, terjadilah sebuah dialog :

Bapak : Jadi, gimana keputusannya? Naik taxi aja nih? Kalau naik taxi cukup dua kayanya. Coba..coba ayo dibagi dua. Yang kecil-kecil ikut ibu, yang besar-besar ikut saya..

Ibu : Iya, ayo coba dibagi dua... Sini, sini..

Anak 1 : Iya bisa Pak, naik taxi. Duduk di belakang 5 orang-5 orang.

Anak 2 : He he, masalahnya nih, jumlah kita 11 orang. Bagaimana tuh?

Anak-anak : He he, iya nih rame benerr...

Ibu : Waduh, iya juga ya.. Ada 11 orang, mana cukup di belakang 6

Bapak : Ha ha ha... Jadi gimana dong?? (lantas bersemangat mengejar sebuah taxi untuk ditawar harganya)

Ibu : Eeh Bapak, bentar dulu kenapa... (lantas seorang ibu lainnya lewat). Aduh, Ibu selamat sore.. Apa kabar?

Ibu 2 : Waduh.. rame-rame bener nih, pada mau ke mana??

Ibu : Ini bu, ngajak jalan-jalan anak asuh

Ibu 2 : Ck,ck,ck... (tersenyum sambil lantas mennyetop sebuah bus untuk dinaiki)

Sementara sang bapak dan ibu tadi masih sibuk menentukan moda transportasi yang tepat untuk berjalan-jalan bersama..... : 11 anak asuh berusia SMA

Subhanallah.... Pelajaran ternyata bisa ditemukan di mana saja, termasuk di halte bus sekali pun!

"Hikmah adalah barang hilang milik mukmin. Maka, di manapun ia menemukannya, ia lebih berhak atasnya." (HR al-Tirmidzî)

Labels:

Thursday, August 24, 2006

Ever Feeling Lost Control on Your Body?

Ya, pernahkah merasakan bahwa kita sama sekali tidak memiliki kontrol atas tubuh kita? Beberapa momen sempat membuat saya merasakan hal tersebut.

1. Ketika kali pertama mencoba Bolang-Baling di Dunia Fantasi; gara-gara termakan bujuk rayu teman. Katanya sih naik itu enaaak banget. "Pokoknya beda deh sama roller coaster. Ini lebih ga menakutkan!!". Ya sudahlah saya nurut saja, maklum jarang sekali jalan-jalan ke luar kota bareng temen se-SMA. Ternyata.... MasyaAllah, itu kursi diputar-putar 360 derajat dengan berbagai posisi.
Bolang-Baling adalah sebuah wahana di mana beberapa kursi digantungkan kepada lingkaran besi. Lingkaran besi itu dapat dinaikkan dan diturunkan dengan semacam penunjang hidrolik (mungkin ya?). Gantungan kursi dapat digerakkan maju mundur sesuai keinginan pemegang kendali. Dan yang paling penting, lingkaran besi itu dapat diputar dengan kecepatan tinggi ketika berada pada jarak lebih dari 10 meter di atas tanah. Untuk keselamatan, kursi memiliki pengaman yang dapat menahan tubuh sehingga tidak jatuh. Ketika akan naik wahana ini, semua barang2 yang mungkin jatuh, seperti : kacamata, sepatu, handphonde dan tas harus diletakkan d i bawah terlebih dahulu.
Yah jadilah ketika putaran2 dengan kecepatan tinggi dilangsungkan, tubuh kita hanya bergantungan pada pengaman tersebut. Mau lihat bawah? Silahkan.. Tapi saya tidak merekomendasikan. Lha wong saya saja merem ga karu-karuan ketika diputar-putar di atas. Berharap putaran2 itu segera selesai dan kita segera diturunkan.

2. Ketika take-off dan landing perjalanan udara menggunakan pesawat terbang. Kebanyakan orang berpendapat bagian paling beresiko dari perjalanan udara adalah ketika landing dan take-off tadi. Pada saat take-off, titik krusial menurut saya adalah pada saat roda pesawat meninggalkan tanah. Dan setelah itu pesawat teruuus naik mencapai ketinggian normal terbangnya. Pada saat landing, saat2 mendebarkan adalah ketika pesawat mencoba mencari tempat terbaik untuk memulai pendaratan. Pernah suatu waktu, pesawat yang saya tumpangi lama seklai berputar-putar di angkasa karena cuaca yang buruk.
Ketika saat itu, jelas penumpang tidak tahu apa2 dan tidak bisa berbuat apa-apa pula selain mengencangkan ikat pinggang dan mencoba santai (sambil berdoa tentunya). Menunggu dan menunggu sampai ada perkataan : "Good landing captain..." (meniru sebuah iklan)

Kedua momen itu benar2 membuat saya merasa kehilangan kontrol atas tubuh saya. Kalau dalam keseharian kita dapat menentukan dengan baik gerakan2 lanjutan tubuh kita, tidak demikian ketika berada dalam kedua kondisi tadi. Kita hanya bisa pasrah sepenuhnya...
Dalam sebuah majelis shalat Jum'at, pernah ada seorang khatib yang mengungkapkan pernyataan seperti ini :"Bapak2 belum pernah naik pesawat? Ah masa... Pesawat itu kan yang besar dan bisa melayang bukan? Bukannya kita setiap hari naik pesawat?? Lha itu.. Bumi kita kan besar dan bergerak melayang2 di angkasa dengan kecepatan tinggi.. Berarti kita naik pesawat gratis tiap hari dong.." (disambut cengiran para hadirin majelis tersebut)

Fully out of control... Setiap hari sebenarnya kita tidak secara penuh bisa menguasai tubuh kita. Ketika berjalan di jalan raya, sehati-hatinya kita, bukankah ada saja kemungkinan sebuah mobil keluar dari jalur dan menabrak? Ketika sedang berada di rumah menonton TV, bukankah ada kemungkinan terjadi gempa dan atap rubuh menimpa kita? Ketika sedang berada di kamar mandi, bukankah ada kemungkinan juga kita terpeleset karena sabun yang jatuh? Bukankah ada kemungkinan juga bumi ini keluar dari orbitnya dan menabrak planet lainnya??

Wallahu'alam

Labels:

Saturday, August 12, 2006

Indonesiaku (2)

Inilah wajah bangsa kita..

Lepas dari penjajahan fisik
Tergadai dalam penjajahan ekonomi
Tak mampu bersuara benar dan keras
Bagaimana mungkin bersuara?
Bila masih disuapi dana hibah dan hutang?
Bila masih disuapi barang-barang dan makanan impor?

Inilah wajah bangsa kita..

Tercabik oleh bertubi-tubi bencana
Diperparah dengan birokratisasi penyaluran bantuan kemanusiaan
Belum lagi hujan proyek pasca bencana yang tidak jelas
Lengkaplah sudah... Sudah jatuh, tertimpa tangga pula

Inilah wajah bangsa kita...

Dalam riuh konflik horizontal
Mimika, Madura, Tuban
Sejumlah warganya tetap mepertahankan hak studi banding
Sejumlah warganya menolak menghadiri proses peradilan
Sejumlah warganya "kebal hukum"
Apa itu GKN? Sudah lupakah?
Gerakan Kesetiakawanan Nasional.. ah cuma sekedar slogan

Inilah wajah bangsa kita...

Ribut akan hal-hal sepele
Tidak substantif dan menghabiskan energi
RUU APP, Perda Syari'at, Playboy...
Masihkah ada kabut di pelupuk mata kita?
Katakanlah : "yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah"
Atau kita masih bisa berpaling dari kebobrokan moral....
dan infiltrasi budaya asing yang sedemikian masif??

Teruntuk Indonesiaku..
Tiada hadiah yang tepat untukmu
Selain introspeksi massal dari kami
Seberapa jauh kami telah menghargai kemerdekaan?
Seberapa jauh kami telah mencoba membangun tanah air kami?

Teruntuk Indonesiaku..
Janganlah ukur cinta kami dengan banyaknya slogan2 nasionalisme yang kami hamburkan
Sungguh kami mencintaimu...
Tapi bukan karena engkau Indonesia
Bukan pula karena di sini kami dilahirkan
Kami mencintaimu karena..
sesungguhnya tiap jengkal bumi ini telah diamanahkan kepada kami, manusia
dan kami memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkannya kelak

Ukurlah cinta kami dengan karya nyata..
Karya nyata yang kami persembahkan untuk saudara2 kami
Tidak hanya di Indonesia
Tapi juga di tanah-tanah lainnya

Karena hanya dengan seperti itu..
Kami dapat mengungkapkan rasa cinta kami kepadamu
Dengan sangat proporsional
Dan tidak mengubahnya menjadi virus chauvinisme
Yang bisa menyebabkan kesengsaraan lainnya

Teruntuk Indonesiaku..

Semoga 61 tahun bukanlah masa yang penuh kesia-siaan
Dan tahun-tahun ke depan menjadi sisa waktu yang barokah
Bagi rakyatnya, bagi tanahnya dan bagi seluruh dunia
Amiin

Wallahu'alam

Labels:

Wednesday, August 09, 2006

Mendefinisikan Keadilan

Berbicara keadilan... Seorang guru saya mengajarkan pengertian keadilan secara menarik : meletakkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, bila sandal diletakkan di kepala dan topi diletakkan di kaki, itu adalah sebuah ketidakadilan. Hmm.. lucu memang. Tapi rumusan ini kalau ditelaah lebih jauh dan diaplikasikan, maka cukup membantu dalam mendefinisikan adil dan tidak adil. Lebih lanjut, keadilan didefinisikan sebagai "memberikan seseorang sesuai dengan haknya".

Sore kemarin kembali saya mendapat pertanyaan yang berupa lintasan pikiran mengenai makna keadilan. Masih terkait dengan masalah pilih-memilih (seperti postingan sebelumnya; dan tumben sekali posting harinya deketan gini...). Sore itu saya dihadapkan pada beberapa pilihan : pengamen dengan krecekan (tutup botol yang disusun dan ditusuk dengan besi atau kayu)-nya, penjual permen asam, atau penjual perlengkapan sehari-hari (semisal gunting kuku, korek kuping, korek api, dll dengan harga hanya 1.000 rupiah tiap buahnya). Pada yang mana uang 1.000 saya akan saya berikan? Menuruti emosi, maka saya lebih memilih pengamen tersebut. Kenapa? Karena pengamen itu adalah seorang ibu dan sedang membawa anak. Lagipula, dalam pemikiran saya, ibu itu mungkin memang tidak bisa berusaha apa-apa lagi; berbeda dengan penjual permen asam dan penjual barang-barang sadaya aya (semua ada) tadi yang masih bapak-bapak dan cukup sehat.

Sejenak kemudian, saya seperti mengalami deja vu. Pilihan-pilihan seperti itu ternyata selalu ada di setiap lampu merah yang saya lewati dalam keseharian saya pulang kantor. Dan hasil perhitungan saya, seringkali saya memberi kepada mereka (ibu2, anak2 atau pun tuna netra) yang meminta-minta. Salahkah? Semuanya berawal dari niat; dan yang mengetahui kemurnian niat seseorang hanyalah dirinya dan Allah SWT. Jadi mungkin benar-salah tidak bisa muncul dari penghakiman orang yang melihat. Tapi melihat dari kacamata objek yang menjadi pilihan, maka ada sebuah pendapat yang menarik.

Mungkin saja para penjual barang-barang, penjual koran dan penjual2 lainnya merasa tidak diperlakukan secara adil. Kenapa? Bukankah mereka memeras keringat dengan menjual "sesuatu"?? Bukankah berjualan di sudut2 lampu merah adalah sebuah pekerjaan yang halal?? Lantas kenapa yang diberi malah mereka yang meminta-minta dan tidak menjual apa-apa? Okelah, mungkin para pengemis itu menjual "perasaan kasihan" dengan kondisinya yang (maaf) kadang cacat; dengan kondisinya yang masih anak2 kecil; dan dengan kondisinya yang sudah tua renta. Tapi apa lantas itu bisa menjadi sebuah pengecualian yang dapat menafikkan kenyataan bahwa : mereka semua sedang bekerja saat itu... Bekerja menjual barang, bekerja menjual belas kasihan dan lainnya. Dan sudah selayaknya semua memperoleh peluang yang sama untuk mendapatkan rupiah demi rupiah dari para pengendara.

Paragraf di atas adalah tebakan saya atas pemikiran para penjaja barang; dan bukan bermaksud berburuk sangka. Hanya sebuah tebakan yang didasarkan pada rutinitas pemberian infaq saya. Sepertinya saya harus mendefinisikan ulang makna keadilan yang saya pahami. Adil menurut saya belum tentu adil menurut mereka yang diberi atau tidak diberi.

Terkait dengan memberi pada anak-anak jalanan, saya pernah mendapat nasihat yang cukup bagus : "Jangan pernah memberi uang, cukup beri mereka penganan kecil plus sesungging senyum." Untuk apa? Agar pola pikir mereka tidak hanya uang, uang dan uang... Seorang sahabat meng-counter nasihat ini dengan berpendapat : "Kalau mereka butuhnya uang terus gimana? Mau nungguin dibantu sama pemerintah? Sampe kapan?? Keburu udah ga ada kali!! Jadi ngasih duit juga engga apa-apa!"
Kedua pandangan itu benar menurut saya. Tidak ada yang salah, tergantung kondisi dan situasi yang sedang berlangsung. Bila merujuk pada definisi keadilan di paragraf pertama (memberi sesuai haknya), maka yang jadi pertanyaan adalah apakah hak anak-anak jalanan tersebut? Bisa jadi memang mereka butuh uang untuk sekolah; maka jadilah uang itu adalah haknya. Haknya yang telah dirampas dari para wajib pajak dan wajib zakat yang mangkir. Bila pada saat itu ia hanya disuruh oleh orang tuanya untuk mencari uang, sementara ia dalam keadaan lapar yang amat sangat, maka jadilah makanan itu sebagai haknya.

Fiuuhhh.. Sulitnya berbuat adil, terlebih bila emosi senantiasa mendominasi. Ah sudahlah.. saya sudahi saja ceracau tentang keadilan ini. Semoga pengalaman demi pengalaman senantiasa menyeimbangkan timbangan sikap adil yang saya miliki.

Wallahu'alambishawwab

Labels:

Monday, August 07, 2006

Ketika Harus Memilih

Hidup adalah rangkaian pilihan; dan setiap pilihan mengandung konsekuensinya masing-masing. Hidup adalah tentang bagaimana kita menjalani konsekuensi dan bertanggungjawab terhadap semua turunannya.
Perasaan ingin berlindung dan lari ketika menghadapi persimpangan pilihan yang membingungkan adalah hal lumrah yang terjadi pada manusia. Kenapa bingung? Saya melihatnya karena beberapa alasan.

Pertama, pilihan-pilihan yang ada begitu banyak dan sama-sama bagus. Hal ini terjadi bila seseorang sangatlah beruntung. Di mana ia dalam satu waktu dihampiri oleh peluang-peluang yang sama baiknya. Bisa jadi karena kemampuan orang itu; bisa jadi karena kebetulan yang tidak disangka-sangka. Hal ini juga terjadi bila seseorang memperbanyak pilihan-pilihan hidupnya dalam suatu saat. Kegiatan memperbanyak ini berujung pada kebingungan diri sendiri dalam menentukan pilihan. Kegiatan memperbanyak pilihan ini didasari oleh keinginan yang tidak pernah puas dan selalu ingin lebih -- sebagaimana fitrah manusia.

Kedua, karena pilihan yang diminati seseorang bertentangan dengan kondisi realitas. Misalnya, bertentangan dengan kehendak orang tua maupun kebutuhan keluarga; bertentangan dengan kemampuan diri dalam menjalani pilihan itu; maupun bertentangan dengan kelaziman lingkungan sekitar. Alasan kedua ini, selain memperhitungkan variabel kemampuan diri, juga sudah melibatkan pihak-pihak lain di luar diri seseorang.

Ketiga, karena sejauh ini, pilihan-pilihan yang dibuat secara asal-asalan. Dalam artian, tidak mempertimbangkan tahapan-tahapan dalam mencapai tujuan hidupnya. Ibarat sedang berada dalam labirin, maka pilihan-pilihan yang dibuat tidak mampu menjelaskan tujuan akhir yang ingin dicapai. Sejumlah pilihan-pilihan hidup di depan mata tidak memiliki bobot yang jelas yang meyakinkan seseorang untuk memilihnya. Pilihan yang dijatuhkan hanya karena coba-coba atau peruntungan belaka.

Faktor kejelasan tujuan hidup menjadi penting dalam menenetukan pilihan. Tujuan yang jelas dan bersih dari percabangan akan semakin mempersempit area pilihan-pilihan yang ada. Tujuan yang jelas juga akan menyaring pilihan-pilihan yang menghambat tahapan-tahapan pencapaian tujuan tersebut.

Dalam perjalanan mencapai tujuan hidup, ketepatan pilihan menjadi sangat penting. Mengapa? Sebuah analogi bagus dikisahkan. Peluru yang meleset sepersekian derajat pada awal penembakan, akan meleset puluhan derajat pada kilometer kesekian. Demikian pula dengan kegiatan memilih. Pilihan yang tidak berada dalam jalur tujuan hidup akan membawa diri kita kepada akhir yang berbeda. Pindah jalur jelas bisa; namun hal ini seringkali membutuhkan usaha yang besar sekali.

Yah.. pada akhirnya memang kita harus menjatuhkan pilihan. Bulatkan tekad, jangan menengok ke belakang lagi, tatap masa depan dan bertawakallah pada Yang Maha Kuasa. Kita hanya akan dapat menggoreskan sejarah dengan pilihan. Benar tidaknya pilihan kita ditentukan kelak seiring berjalannya waktu. Memilih, memilih dan terus memilih... Sambil menikmati semua konsekuensinya.


Bersabarlah!!
Ketika horison cakrawala masih terlihat jelas,
maka saatnya meniti setapak demi setapak jembatan kehidupan dengan istiqomah...

Labels: